10 Dec 2013

Tak ada Kantor Pos, JNE pun jadi

  Kejadian nyata yang di ubah sedikit jadi fiktif :D   
            Karena terus di sibukkan dengan jadwal kuliah serta tugas yang padat merayap kayak jalanan di Bandung kalau akhir pekan tiba, jadinya aku belum sempat menyelesaikan naskah lomba yang deadlinenya hari ini untuk dikirim ke penerbit xxx.. Akhirnya aku lanjut nulis sebelum masuk kelas. Ini tangan rasanya pegel banget, berasa mau putus. Padahal baru nulis lima lembar, iya lima lembar setelah lima puluh lembar sampai pagi.
“Masih belum selesai juga, Neng?” Nunung berlagak seperti mandor.
“Iya, mana hari ini deadline Nung, bantuin dong!”.
“Sini aku bantuin ngetik” sambung Nining yang kebetulan otaknya nggak loading.
“Eh, nggak bisa deh, kalaupun kamu ngetik di laptop kamu.. aku kan mesti ngedikte ceritanya.. soalnya ini belum pernah aku tulis di kertas”. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kenapa nggak kepikiran dari sebulan yang lalu buat nulis dulu di kertas setengah dari cerita ini jadi kan bisa dapet pertolongan dari para pasukan ini.
            Aku mencuri-curi kesempatan untuk mengetik secara perlahan agar tidak menimbulkan bunyi saat pak dosen menjelaskan materi hari ini. Hasilnya sih lumayan, dapet 15 lembar sampai jam istirahat tiba, tapi malunya juga lumayan gara-gara nggak nyambung waktu ditanya dosen. Dosen bahas usecase, aku jawab context diagram.. yaiyalah penghuni kelas pada ngakak semuanya, bikin mukaku ini terlihat seperti tomat busuk. Nulis di kantin pun gak tuntas gara-gara batre laptopnya lowbat.
         “Nung, aku boleh numpang ngeprint ya? Pliss” ucapku dengan wajah memelas.
         “Berapa lembar, Neng?”.
        “Ya, segini.. seratus lima puluh lembar tapi yang selesai baru 130 lembar” aku nyengir, berharap Nunung dibukakan mata, hati dan pikirannya.
      Nunung lagi mikir keras, nampaknya dia sedikit keberatan. Yaiyalah secara 150 lembar gitu, printerannya aja bisa pingsan kalau di print sekaligus. Tapi kalau ngeprint di luar itu bisa nguras kantong yang udah tipis ini di akhir bulan. Jadi Nunung adalah harapanku satu-satunya.
      “Hore.. Hore.. Hore” aku kegirangan dan berterima kasih sekali kepada Nunung yang mau mencetak naskah ini secara gratis.
       Dan akhirnya naskah lomba ini selesai aku tulis dan print. Dengan semangat 45 aku memasukkan lembaran kertas serta persyaratannya kedalam amplop cokelat itu. ‘Gubrak’, Naskah itu jatuh dari tangan ini ke lantai kamar kost Nunung yang putih bersih itu.
“Kenapa, Neng? Kok dijatuhin?”.
            “Udah jam lima, Nung.. kantor posnya udah tutup dong!”
            “Yaudah sih kirim lewat JNE aja”.
          Akhirnya karena mubazir, aku mengikuti ide gila Nunung, ngirimin naskah ini lewat JNE padahal udah jelas-jelas disyaratnya bilang “cap pos” bukan yang lain. Entahlah itu naskah bakalan di terima atau ngga. “enk-ink-enk”.. Besoknya aku kaget waktu tau lombanya di undur satu minggu. Dari situlah aku belajar untuk menyelesaikan tulisan lebih awal dari deadline dan nulis lagi di kertas bukan ngetik langsung di komputer. Dan pastinya lebih sering liatin situs penyelenggara lomba, siapa tau aja lombanya di undur atau di percepat.