30 Apr 2014

Kisah Yang Salah, Fiktif

Oleh : Ge Maulani 

Aku mencintainya, begitupun dia, dia mencintaiku bahkan sangat mencintaiku. Perasaan ini muncul begitu saja seiring kedekatan kami akhir-akhir ini. Dia tak hanya sekedar sahabat, tapi dia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Dia selalu ada disampingku setiap waktu, mendengar semua keluh kesahku. Jika kedua orangtuaku tahu tentang hubungan kami, mereka pasti tak akan merestui hubungan ini.
            Hubungan ini sudah melampaui batas normal, tapi aku tak bisa mengendalikan perasaanku. Aku sangat takut kehilangannya, bahkan rasa takutnya melebihi rasa takutku saat kehilangan Angga. Namaku Anyeu, aku enam belas tahun. Aku tinggal dan bersekolah di kota kelahiranku, Jakarta. Aku mengalami kisah cinta terlarang bersama sahabat baikku, Erik.
            “Anyeu…”
            “Ya, Er? Kenapa?”
            Dia menatapku lembut, matanya mengisyaratkan sesuatu.
            “Maaf…”
            “Maaf untuk apa?”
            “Aku cinta sama kamu”
            Tiba-tiba saja jantungku berdetak kencang, bahkan lebih kencang dibandingkan saat aku berada didekat Angga. Apa aku jatuh cinta pada Erik? Ah ini tidak mungkin, ini tidak boleh terjadi.
            “Sejak kapan?”
            “Sejak SMP, Nyeu”
            “SMP?”
            Dia mengangguk pelan, terlihat raut kesedihan diwajahnya.
            “Aku tahu ini salah Nyeu, tapi aku nggak bisa ngilangin rasa ini, aku terlanjur suka sama kamu, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu”
            Sekilas Erik memang terlihat tampan, tapi tetap saja dia berbeda. Aku meremas-remas rumput didekatku. Aku mulai gelisah, aku tak tahu harus berbuat apa. Erik membuat hari-hariku lebih berwarna, dia membantuku bangkit dari keterpurukan. Dia membantuku melupakan Angga.
            “Aku nggak akan maksa kamu untuk suka bahkan cinta sama aku Nyeu, karna aku tahu, aku nggak pantes buat kamu”
            “Kamu pasti nggak mau kan jadi pacarku?”
            “Kata siapa? Aku mau kok jadi pacar kamu”
            Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Aku kehilangan kendali, aku tak bisa menolak kehadiran Erik. Aku tak ingin suasana romantis ini rusak begitu saja karena penolakanku. Aku tak ingin Erik menjauh dariku, aku merasa nyaman jika berada didekatnya.
***
            Aku tak bisa menerima kenyataan jika Angga lebih memilih Diandra sebagai kekasihnya. Aku kecewa dan terluka, penantian dan pengorbananku selama ini tak ada artinya untuk Angga. Dia tak pernah menghargai perasaan tulusku untuknya.
            “Ga, kenapa kamu lebih memilih Diandra daripada aku? Aku kurang apa, Ga?”
            Angga tersenyum sinis “Kurang populer di sekolah, kurang kaya dan kurang pinter!”
            “Maksud kamu?”
            “Ya, loe liat dong Diandra, dia cantik, modis, anak konglomerat, pinter main piano, ketua dancer sekolah, ketua OSIS dan otaknya encer, dia selalu juara kelas bahkan juara umum satu sekolah!”
            “Sementara loe? Mendingan loe ngaca dulu deh sebelum bilang suka sama gue!”
            “Tapi selama ini, aku selalu ngerjain tugas-tugas kamu dan hasilnya selalu sempurna!” aku berusaha membela diri.
            “Tapi loe tetep nomer dua dan Diandra is number one!”
            “Makannya kalau mimpi itu jangan ketinggian, jadi sekalinya loe jatuh pasti sakit banget!” bisik Angga yang kemudian mendorong tubuhku ke lantai.
            Aku terduduk lemas, aku tak bisa menerima kenyataan ini. Angga mempermainkan perasaanku, dia hanya memanfaatkanku untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya. Dia tak pernah mencintaiku sedikit pun. Airmata ini tak bisa kubendung lagi dan akhirnya mengalir deras dipipiku.
            “Anyeu, ngapain sih duduk disini?” Erik membantuku untuk bangkit.
            “Kok kamu nangis sih? ada apa?” Erik terlihat khawatir.
            Dia menghapus airmataku dengan sapu tangan kesayangannya.
            “Coba deh cerita sama aku biar kamu lebih tenang”
            “Angga, Er.. Angga”
            “Angga kenapa emangnya?”
            “Angga lebih milih Diandra daripada aku” aku menangis tersedu-sedu, sesaat kemudian aku menenggelamkan wajahku di dalam pelukan Erik.
            Rasanya sangat nyaman, persis seperti pelukan hangat milik mama.
***
            Semakin hari aku semakin dekat dengan Erik. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Erik terlihat keren, apalagi saat mengendarai sepeda motor Ninjanya. Aku tak segan memeluknya dengan erat saat perjalanan pulang menuju rumah. Tak ada perasaan canggung sedikit pun diantara kami.
            “Hai Anyeu” Daniel, salah satu cowok tampan di sekolah menghampiriku dan Erik.
            “Hai, Nil”
            “Boleh gabung disini?”
            Aku tersenyum “Boleh kok”
            “Aku ke kelas duluan ya Nyeu” Erik beranjak pergi meninggalkan kami.
            “Kayaknya Dia cemburu deh kalau aku ngedeketin kamu?”
            Aku menatap Daniel tak percaya, bagaimana bisa dia menanyakan pertanyaan yang sangat aneh kepadaku. Semua orang tahu kami bersahabat.
            “Ya wajar dong kalau seorang sahabat cemburu sama sahabatnya” jawabku santai.
            “Maksud aku bukan itu, Nyeu”
            “Udah ah, kamu ini ngaco aja deh”
            Entah mengapa pertanyaan Daniel masih terngiang-ngiang dikepalaku. Aku memperhatikan seluruh gerak gerik Erik di dalam kelas, tapi sepertinya semua biasa saja, tak ada yang aneh.
            “Kamu kenapa sih? kok liatin aku kayak gitu?”
            “Mmm.. gak papa kok Er”
***
            Pertanyaan Daniel akhirnya terjawab, hari ini, aku berada di tempat ini bersamanya. Cinta terlarang ini sudah berlangsung selama satu bulan. Dia mengenggam tanganku dengan erat dan menyandarkan kepalanya dibahuku. Semilir angina dengan setia menemani kebersamaan kamui, menikmati perasaan cinta yang tak lazim ini.
            “Kamu kenapa, Nyeu? Kok diem aja?”
            “Kamu nyesel ya nerima aku jadi pacar kamu?”
            Aku masih terjaga dalam lamunanku. Aku tak tahu hubungan ini akan dibawa kemana. Aku terlanjur mencintai Erik, tapi aku takut jika mama mengetahui hal ini. aku takut mama kecewa, aku takut mama shock, aku takut penyakit jantung mama kambuh lagi.
            “Nyeu” Erik mendekatiku dan mencium keningku.
            “Iya, kenapa, Er?”
            “Kamu ngelamunin apa sih?”
            “Ng.. nggak papa kok”
            “Yakin?”
            Aku mengangguk pelan, membiarkan Erik membelai rambutku dengan lembut.
            “Jujur aku takut Nyeu, aku takut kehilangan kamu”
            “Aku sayang banget sama kamu, Nyeu”
            Aku tak tahu sampai kapan menyimpan perihal hubunganku dengan Erik dari dunia luar. Kedua orangtuaku pasti sangat kecewa dan malu jika mengetahui hubungan yang terjalin diantara kami lebih dari sekedar sahabat.
            “Er, udah sore nih, kita pulang yuuk”
            Kami berjalan berdampingan dan saling bergandeng tangan meninggalkan keindahan taman sore itu.
***
            “Sampai ketemu besok sayang” Erik hampir mencium pipiku, tapi aku segera menghindar.
            “Loh, kenapa?” kening Erik berkerut, sepertinya dia kecewa.
            “Aku takut ada yang liat Er”
            “Kamu malu, ya?”
            “Maafin aku Er, tapi hubungan kita ini kan nggak wajar”
            “Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu ya.. sampai ketemu besok”
            Erik mengendarai sepeda motornya dengan cepat, selang beberapa detik dia sudah menghilang dari pandanganku. Aku membuka pintu rumah secara perlahan, berharap mama tak melihat kejadian barusan. Aku salah, langkahku tertahan di depan pintu. Mama sudah berdiri disana, menanti penjelasan dariku.
            “Ada hubungan apa kamu sama dia?”
            “Aku sama Erik sahabatan, Ma” aku tak berani menatap mata Mama.
            “Mama nggak suka kamu deket-deket sama dia!”
            “Kenapa, Ma?”
            “Kamu lihat saja penampilannya, dia tidak seperti gadis normal seusianya, dia lebih mirip laki-laki”
            Aku tersentak, sepertinya mama mulai curiga atas hubunganku dengan Erik.
            “Kenapa kamu kelihatan takut?”
            “Kamu nggak lagi bohong kan sama mama?”
            Aku menggeleng tak mampu menjawab pertanyaan mama yang sudah jelas menyudutkanku.
            “Aku, naik dulu ya Ma, mau ganti baju”
            Aku menaiki anak tangga itu satu persatu, ku tenggelamkan wajah di dalam bantal kesayanganku. Aku telah membohongi mama, aku tak berani mengatakan yang sejujurnya. Maafkan aku Ma, sebenarnya aku mencintai Erik, Erika lebih tepatnya. Gadis tomboy itu terlihat sangat tampan dimataku. Dia selalu ada untuk Anyeu, Ma.
            Rasa ini memang tak wajar, tapi aku tetap ingin bersamanya, bersama orang yang aku cintai, Erika Anatasya Permana. Biarlah kami menyimpan hubungan ini berdua. Sekalipun kami saling mencintai, toh pada akhirnya kami tak akan bisa bersatu selamanya. Pada saatnya nanti, kami akan berpisah, di pisahkan waktu serta keadaan. Biarlah kami menikmati cinta terlarang ini selama kami masih bisa menikmatinya.

Selamat Tinggal Masa Lalu, Bukan Lagu



Melupakan seseorang yang pernah tinggal dihati ini bukanlah perkara yang mudah. Terlalu banyak kebahagiaan dan juga kesakitan yang dilalui bersama dia. Dia yang mengecewakanmu dan menenggelamkanmu dalam airmata kesedihan, dia juga yang membuatmu tertawa dan larut dalam kebahagiaan. Kenangan tentang diapun seakan tak pernah habis dimakan waktu. Dia masih saja terjaga dengan baik dalam memori ingatan ini.
            Ini sudah tahun ketiga sejak Nico memutuskan hubungannya dengan Ana. Ana memilih untuk sendiri setelah putus dengan Nico yang beralasan akan fokus dengan sekolahnya. Namun bagi Ana, Nico itu sudah seperti noda yang melekat dan sulit sekali dihilangkan dari dalam hati dan pikirannya. Bahkan sebuah penghapus dan tipe-x dengan merek ternama pun tidak dapat menghapus bayangannya, kenangannya dan juga sosok dirinya. Belum lagi boneka beruang pemberian Nico yang selalu duduk manis diatas tempat tidurnya. Ingatannya tentang Nico masih terlalu kuat daripada usahanya untuk melupakan Nico.
      “Ini boneka harus aku apain ya biar aku lupa semua tentang Nico, apa aku kasihin keponakanku? Ah tapi sayang. Apa aku masukkin kardus aja? Tapi bonekanya kasian, kan lucu. Apa aku balikin aja sama orangnya? Hmm sepertinya ide bagus.. tapi, aku masih gak sanggup ketemu langsung sama dia”.
            Itulah pertanyaan yang sering Ana tanyakan pada dirinya sendiri dan dijawab kembali oleh dirinya. Mungkin raganya sudah bisa berpindah ke tempat lain, tapi hatinya. Ya, hati Ana masih tetap disana. Ditempat yang sama, tempat pertamakali dia menjatuhkan hati kepada seorang cowok bernama Nico Rizkiana. Si tinggi kurus dan berkacamata minus itu masih saja meracuni hati dan pikirannya.
            “Kapan mau move on, An? Ayolah lupain Nico, dia udah punya cewek baru kan makannya dia mutusin kamu. Lagian liat dong kenyataannya Nico itu awet banget sama pacar barunya. Kamu pasti udah liat ucapan selamat hari jadi mereka yang ketiga kan di facebook” kata-kata itu terekam dengan jelas di dalam kepala Ana. Kata-kata yang selalu diucapkan oleh April dan Mega, kedua sahabat dekatnya manakala Ana masih saja melamunkan Nico yang sudah jelas meninggalkannya dengan sebuah kebohongan.
            “Untuk hari ini dan seterusnya aku mohon banget sama kalian jangan tanyain soal itu lagi dan jangan ingetin aku kalau Nico udah punya pacar!” tegas Ana ketika April dan Mega menghampirinya di kantin kampus.
            “Kita kayak gitu itu karna peduli sama kamu An, kita nggak mau kamu terlarut sama masalalu dan kenangan-kenangan kamu sama Nico. Cobalah buka hati buat yang lain, buat Dimas!” balas April.
            “Aku nggak bisa lupain dia Ga, Pril!”.
            “Bukan gak bisa An, tapi kamu nggak mau lupain Nico. Itu yang bikin kamu selalu inget dia. Semua benda pemberiannya masih kamu simpen. Facebook dia masih sering kamu liatin. Ya gimana kamu mau lupain dia” Mega membalas pembelaan Ana.
            Ana hanya terdiam dan tak menjawab ucapan Mega.
            “Kenapa? Kamu masih penasaran ya sama Nico? Pengen balikan lagi sama dia? Masih cinta sama dia atau kamu dendam sama dia. Pengen bales sakit hati kamu?” pertanyaan April semakin menyudutkan Ana.
            Kenangan tentang Nico memang tak pernah ada habisnya, tiga tahun sudah berlalu, namun luka dan cinta itu masih membekas dihati Ana. Ana tidak berani membuka hatinya untuk siapapun termasuk Dimas. Hatinya masih terkunci untuk Nico.
            “Kamu sadar gak An, Dimas udah banyak berkorban buat kamu. Dia tetep setia sama kamu selama dua tahun ini. Dia nggak pernah nyerah buat luluhin hati kamu sedingin apapun sikap kamu sama dia, dia tetep bertahan buat kamu”.
            Tiba-tiba saja terdengar nyanyian seorang cowok dari arah studio kampus. Lagu dengan lirik yang Ana benci. “Aku mencintai kamu.. dengarkan janjiku…”.
            “Lagu itu, siapa yang nyanyiin lagu itu!” mata Ana mulai berkaca-kaca dan dia bergegas menuju studio kampus.
            “Ana, kamu mau kemana sih? Udahlah.. lagu itu kan bisa dinyanyiin siapa aja bukan cuma Nico dan kamu juga harus hargain kebebasan oranglain An” pinta Apri yang berusaha menajajari langkah Ana.
            April dan Mega tidak dapat menghentikan langkah Ana yang begitu cepat. Ana membuka pintu studio dengan keras dan membuat permainan gitar serta nyanyian Dimas terhenti. Namun beberapa detik kemudian Dimas kembali menyanyikan lagu itu dan memainkan gitarnya.
            “Kan ku sayang kau sampai akhir dunia”.
            “Aku bilang berhenti, berhenti nyanyiin lagu itu. Aku benci sama lagu itu!” mata Ana semakin berkaca-kaca.
            “Hanya kamulah satu-satunya”.
            “Aku bilang berhenti ya berhenti Dim.. aku nggak suka kamu nyanyiin lagu itu terus!”.
            “Paling berharga di sluruh dunia”.
            Ana tidak dapat membendung lagi emosi dan kesedihannya. Dia segera mengambil gitar yang berada ditangan Dimas dan menghempaskannya ke lantai. Gitar kesayangan Dimas kini sudah hancur berserakan. Mega dan April hanya bisa memandang pilu atas tindakan yang dilakukan Ana. Di luar dugaan ternyata Dimas sangat kecewa dengan perlakuan Ana terhadapnya. Dimas berdiri dihadapan Ana dan menatap Ana dengan tajam.
            “Aku emang sayang An sama kamu, aku suka sama kamu, aku cinta sama kamu dan aku juga peduli sama kamu. Aku pengen banget bisa jadi orang yang berarti buat kamu meskipun aku tahu aku nggak akan pernah bisa menggeser posisi Nico dihati kamu An”.
            “Ok, nggak papa kok.. kamu boleh acuhin aku, cuekin aku, anggep aku nggak ada.. kamu juga boleh hancurin hati aku.. patahin hati aku, sebagai pengganti sakit kamu karena Nico. Tapi aku nggak bisa maafin kamu kali ini An, kamu keterlaluan.. karna kamu udah hancurin gitar kesayangan aku!”.
            Tanpa meminta maaf, Ana bergegas pergi begitu saja menuju ke tempat kostnya. Dia menyesal dengan perbuatannya. Dia memaki-maki dirinya sendiri. Dia sadar, kenangannya tentang Nico membuat dia sulit mengendalikan diri setiapkali ada oranglain yang bersikap seperti Nico. Seluruh memori ingatannya masih tersita oleh Nico dan selalu tentang Nico.
            “Aku jadi ngerasa bersalah sama Ana dan Dimas, Ga” April terlihat bersedih di dekat pintu kamar Ana yang terbuka.
            “Udahlah, semoga dengan kejadian ini Ana bisa sadar dan nggak terus-terusan mikirin Nico lagi, Pril”.
            “Semoga ini bener-bener bisa bikin Ana lupain semua hal tentang Nico ya, Ga”.
            Mega tersenyum dan mengajak April menjauh untuk beberapa menit sebelum akhirnya menenangkan Ana. Ana masih terisak di dalam bantal kesayangannya. Beberapa detik kemudian dia bangkit dan menatap boneka beruang dengan ukuran yang cukup besar dari Nico. Pikirannya melayang kembali ke masa-masa indahnya bersama Nico, namun kenangan pahit dan sakit pun turut mengiringinya. Ana mengambil boneka itu dan menghempaskannya ke dalam tempat sampah. Kali ini Ana benar-benar ingin melupakan semua tentang Nico.
            Airmatanya masih terus menetes, Ana mendekati dinding kamarnya dan membenturkan kepalanya ke dinding, dia berharap bisa lupa ingatan. Lupa akan kejadian hari ini dan lupa kepada Nico. Ana tidak ingin mengingat-ngingat lagi segala sesuatu yang berhubungan dengan Nico, cukup tiga tahun ini dia bersikap bodoh dan merasa hanya Nico yang pantas menjadi kekasihnya lagi.
            “An, cukup.. kamu ngapain sih nyiksa diri kamu sendiri” Mega dan April segera menarik Ana dan memaksa Ana untuk duduk di atas tempat tidurnya.
            “Aku pengen ngelupain semuanya.. aku pengen lupa..lupa sama dia” Ana menangis tersedu-sedu dan memeluk Mega.
            “Kamu tenang ya An, ada kita kok yang siap bantu kamu buat bangkit dan ngelupain Nico yang udah nyakitin hati kamu”.
            “Kita bisa mulai dengan pelan-pelan An. Kamu mau kan ikutin saran kita. Kamu pasti bisa lupain Nico kok”.
            Ana melepaskan pelukannya dan mengangguk perlahan. Bibirnya melengkungan sebuah senyuman. Selama ini dia terlalu fokus dengan segala kenangan Nico. Padahal ada dua sahabat yang sangat memperdulikannya dan sangat ingin Ana keluar dari masalalu dan bayang-bayang tentang Nico. Kemudian meminta Ana untuk membuka mata dan hati untuk Dimas. Laki-laki yang rela berkorban dan setia menunggu Ana selama dua tahun ini.
***
            Ana mengikuti saran dari kedua sahabatnya. Dia mulai menghapus semua file fotonya bersama Nico dan juga foto Nico, Ana juga memblokir facebook Nico. Dia juga membakar seluruh kartu ucapan dari Nico. Kini hanya tersisa boneka beruang yang diberikan oleh Nico.
            “Kalau mau lupa sama yang udah lalu itu jangan setengah-setengah An, sekarang coba deh masukin bonekanya ke dalam kardus terus dibungkus yang rapi. Soalnya kalau terus kamu simpen, percuma dong.. kamu pasti bakalan inget terus kalau barang dari Nico masih kamu simpen” April meminta Ana untuk merelakan boneka beruang lucu itu.
            “Tapi ini kan bisa aku tonjok kalau lagi kesel, Pril”.
            April menggeleng-geleng sembari tersenyum. Dia tahu kalau ini masih terasa berat oleh Ana, tapi April yakin lama kelamaan Ana akan terbiasa tanpa Nico. Akhirnya Ana merelakan boneka beruang itu dibungkus rapi oleh Mega.
            “Terus diapain dong?”.
            “Sekarang kamu temuin Nico di kampusnya dan kasihin bungkusan ini, bilang sama dia kalau kamu udah bisa ngelupain dia. Dan kamu mau kembaliin boneka yang pernah dia pinjemin buat kamu. Bilang makasih juga sama dia!” tegas Mega sambil memberikan kotak itu kepada Ana.
            “Sekarang?”.
            April dan Mega mengangguk bersamaan.
Ana menunggu Nico di depan kampusnya. Berharap Nico menemuinya sesuai perjanjian mereka melalui pesan singkat tadi. Ana melihat Nico berjalan semakin dekat ke tempatnya berada. Dunia Ana seakan runtuh melihat sosok dihadapannya yang berdiri tegak dengan senyuman khasnya itu. Sakitnya semakin bertambah mengerogoti tulang-tulang yang melekat ditubuhnya. Waktu seakan terhenti begitu saja. Ana tak pernah menduga akan bertemu Nico lagi. Ana benar-benar belum siap bertemu dengan Nico tapi ini harus tetap dilakukannya demi tekadnya melupakan semua tentang Nico.
            “Hei An,  aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi”.
            Ana masih terjaga dalam lamunannya “Ini beneran Nico? Atau halusinasi aku aja?”.
            “Hei, kok malah bengong? Kamu baik-baik aja kan?”
            Ana mengangguk perlahan dan beberapa saat kemudian tangannya memberikan bungkusan kado berukuran sedang itu.
            “Ini apa?”.
            “Itu boneka yang pernah kamu pinjemin ke aku, sekarang aku mau kembaliin.. aku udah janji sama diri aku sendiri buat lupain semua tentang kamu”.
            “Tapi An, aku itu ngasih boneka ini buat kamu bukan minjemin. Jadi kamu nggak usah balikin lagi ke aku”.
            “Tapi aku nggak bisa simpen boneka itu terus, aku udah punya penggantinya” Ana berusaha menahan airmatanya agar tidak menetes.
            Ana meninggalkan Nico yang berdiri mematung setelah menerima bungkusan kado itu dari Ana. Hatinya terasa lebih ringan setelah mengembalikan boneka itu kepada Nico. Ana ingin menebus kesalahannya kepada Dimas dan menginginkan Dimas tetap menemaninya untuk bangkit dan melupakan Nico. Ana membelikan sebuah gitar baru untuk Dimas. Ana menemui Dimas dikantin kampus bahkan meminta Dimas menyanyikan lagu itu lagi.
            “Kok kamu nangis An?” Dimas terlihat panik ketika melihat Ana yang menitikkan airmata ketika dia selesai bernyanyi.
            “Aku bahagia Dim, aku bahagia karena sekarang aku punya kamu. Kamu yang tulus dan setia menyayangi aku. Makasih ya Dim”.
            “Sama-sama An”.
            Inilah pilihan yang dijatuhkan Ana. Pada akhirnya Ana berhasil melupakan sosok Nico yang kini posisinya digantikan oleh Dimas. Dimas berhasil menggantikan Nico di hati dan pikiran Ana. Ana telah menutup semua kenangan pahit dan manisnya bersama Nico, kini dia membuka mata, hati dan pikiran untuk yang baru. Membuka lembaran baru bersama Dimas. Melumpuhkan semua ingatannya tentang Nico. Sekarang Ana tidak harus amnesia untuk melupakan segala tentang Nico karena ada Dimas yang menemaninya untuk melupakan Nico secara perlahan tapi pasti.
28 Apr 2014

Tentang VIII B Angkatan 2008 2

tugas suling VIII B



Oke, banyak yang aku lupa tentang VIII B angkatan 2008 ... ya lupa, bahkan ngeblank nggak inget sama sekali, tapi ada beberapa yang tiba-tiba inget lagi nih ... jadi sebelum lupa, mari kita lanjutkan.

Kelas delapan juga masih jaman ngeledek pake nama ayah atau ibu. Contohnya Sandi yang terkenal dengan julukan E*** dan dibales sama Sandi dengan sebutan A*** , terus Tia suka banget bilang gini ke Angga "Gong xi fa cai si O*** ngacai." kalau di pikir lagi keterlaluan juga yaa, hohoho. Tapi namanya juga remaja. Ya kan? masa-masa segala dicoba.

Kata Tia di komentar Path, aku pernah ngepel pake kerudung? Wah aku kok keterlaluan ya ngepel pake kerudung. Ya Allah tolong ampuni ... Aseli aku nggak inget sama kejadian itu. Suer, mungkin itu termasuk ke dalam memori yang terhapus. Tapi pastinya itu aku lagi ngambek kalau melakukan hal-hal yang ekstrem.

Baca Juga :  Tentang VIII B Angkatan 2008

Oh ya, Pelajaran kesenian waktu itu jamannya belajar suling ini nih ... Dulu ngebet banget kepingin beli suling ini. Mereknya Yamaha.

Pernah juga nyanyi di depan kelas per-kelompok, selain itu bikin kerajinan tangan ... Kelompok aku, Tia dan Asta bikin rumah-rumahan dari kayu. 

Kelas kita punya dua anak kembar yang dipisahkan ya? ada Sefyana yang dipisah sama Sefyani, terus Hendra sama Hendrinya yang ada di kelas delapan C. Hendra KM delapan B, ya? iya nggak sih? lupa hahaha. Dan yang paling terkenal satu sekolah itu Asep, panggilan akrabnya BJ.  

Baca juga : Bukber sekaligus reuni Essan 2008

Yang terparah itu waktu mau kegiatan Maulid Nabi di sekolah. Kita beberapa cewek nginep di rumahnya Tia buat bikin tumpeng, padahal mah yang bikin itu mamanya Tia. Kita sewa angkot biar nggak jalan kaki ke rumah Tia di Pamujaan. Dan hal mengenaskan itu terjadi. Tasnya Tia ketinggalan di angkot dan gak pernah ketemu lagi itu angkotnya yang mana. Kalau nggak salah ada kalkulator mahal yang ada fitur kamus bahasa inggris di tasnya ya Tia? Malem itu kita makan bareng dan untuk pertama kalinya aku nyobain makan ceker ayam. Dari situlah jadi suka ceker ayam. Kayaknya itu terakhir kali ngumpul sama-sama.

Selain ke rumah Tia, pernah juga ke rumah Silmi buat kerja kelompok … tapi lupa sama siapa aja. Yang pasti dapet kenang-kenangan Origami warna hijau muda sebiji. Makasih Silmi :) Kalau ke rumah Asta ingetnya pas latihan dance itu. Terus ke rumah Mia yang membawa pengalaman naik angkutan umum sejenis Elf. Pokoknya kalau inget delapan B itu pasti ingetnya guru BP deh, suer! 

Jangan lupa baca tulisan seputar pertemanan lainnya di blog ini ya!

24 Apr 2014

Sepatu yang Mempertemukan Kita Kembali

             Cinta, perasaan itu muncul secara tiba-tiba seiring kedekatan mereka dalam organisasi di sekolah. Perasaan itu telah mengubah sedikit demi sedikit kebiasaan buruk Dee. Cinta mampu mengubah Dee yang cuek serta tomboy hampir 180 derajat. Diaz, cowok berpostur tubuh ideal beserta alis mata tebalnya mampu mencairkan hati Dee.
            “Kamu ngapain liatin aku kayak gitu, Di?” Dee sedikit salah tingkah dan heran karena sejak tadi Diaz tak henti menatapnya.
            Diaz belum menjawab pertanyaan Dee, dia masih terjaga di dalam lamunannya dan sesekali tersenyum manis. Ya, senyuman Diaz sangat manis dan membuat Dee semakin jatuh cinta.
            “Heh, ditanyain malah senyam senyum.. jangan-jangan kamu naksir aku ya, dari tadi liatin aku terus!” Dee mencubit tangan kanan Diaz yang menopang dagunya.
               ‘Aaaargh’ Diaz meringis kesakitan.
            “Apaan sih Dee, Geer banget kamu. Gak mungkinlah aku suka sama cewek kayak kamu. Cantik sih tapi kelakuannya preman!”.
          “Jadi, Diaz gak punya perasaan yang sama kayak aku. Dia bilang kelakuan aku kayak preman, padahal aku udah bela-belain ngubah penampilan aku demi dia” ucap Dee dalam hati.
            “Yee, malah giliran dia yang ngelamun!” protes Diaz yang melempar sebuah sedotan ke arah Dee.
            “Terus kamu ngeliatin apaan?”.
            Diaz meminta Dee untuk berbalik dan mengikuti arah jari telunjuknya. Jari Diaz mengarah pada Sabrina, cewek terpopuler di sekolah sama halnya seperti Diaz yang digandrungi para cewek di sekolah. Ini membuat hati Dee terluka, dia baru sadar kalau Diaz takkan pernah mempunyai perasaan yang sama dengannya. Jelas-jelas Dee bukan kriteria cewek yang disukai Diaz. Dee juga menyadari jika perubahan kepribadiannya tak berarti sama sekali di mata Diaz.
            “Cantik, ya?” Diaz tersenyum ketika Dee membalikkan lagi badannya.
            Dee hanya mengangguk dan tersenyum pahit. Hatinya benar-benar hancur, apalagi mendengar pujian untuk Sabrina serta senyuman Diaz yang mengembang sempurna.
            “Mmm, aku ke ruang osis dulu ya, tadi kayaknya lupa matiin komputer”.
            Dee bergegas meninggalkan Diaz, dia tak mau Diaz melihat airmatanya yang sebentar lagi akan meluncur. “Kenapa kamu pergi Dee? Apa bener kata anak-anak kalau kamu juga jatuh cinta sama aku?apa kamu cemburu Dee? Andai aja aku gak pernah denger kamu berjanji gak akan pacaran sampai kamu lulus kuliah nanti. Aku pasti bilang kalau aku suka dan sayang sama kamu. Aku pengen kamu jadi pacar aku, bukan sekedar sahabat” ucap Diaz yang memandang kepergian Dee dengan pilu.
Sebenarnya Diaz memandangi Dee sejak tadi, perubahan Dee membuat Diaz semakin jatuh cinta pada Dee, bukan Sabrina. Diaz hanya ingin tahu reaksi Dee dan Diaz tidak ingin Dee tahu kalau sebenarnya dia mencintai Dee.
***
Sudah satu bulan lamanya Diaz resmi berpacaran dengan Sabrina dan menenggelamkan gosip yang selama ini beredar tentang hubungan Diaz dan Dee. Dee tetap tersenyum dan memberikan selamat kepada Diaz, meskipun hatinya perih. Lambat laun Dee memutuskan untuk menjaga jarak dengan Diaz. Dia kembali membangun tembok dihatinya secara perlahan. Dee berharap dengan cara seperti ini dia bisa melupakan Diaz dan berhenti mencintai Diaz walaupun sebenarnya Dee berharap kalau dia yang ada dihati Diaz, bukan Sabrina.
“Dee, nanti sore temenin aku ke toko buku ya, terus aku traktir kamu makan sama nonton deh. Udah lama kan kita nggak jalan bareng” Diaz tersenyum dan berdiri dihadapan Dee, menahan langkah kaki Dee menuju ke ruangan osis.
“Maaf Di, aku udah ada janji sama mama aku. Kamu mending minta temeninnya sama Bina” Dee berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kesedihan serta rasa gugupnya.
 “Aku maunya sama kamu Dee, kenapa sih semenjak aku pacaran sama Bina kamu itu selalu menghindar dan jaga jarak sama aku?”.
“Kamu cemburu?” tanya Diaz lagi.
Dee terdiam sejenak, matanya mulai berkaca-kaca. Namun, beberapa detik kemudian dia tertawa kecil. ‘hahahaha’.
“Ngaco deh. Ngapain juga aku cemburu sama kamu. Dari dulu aku cuma nganggep kamu sahabat kok. Lagian aku nggak pernah punya perasaan sama kamu. Aku itu cuma nggak mau Bina salah paham sama aku. Ya, kamu tau sendiri kan di sekolah ini banyak biang gosip. Aku nggak mau ada berita aneh-aneh tentang kita, Di!” Dee mencoba menegarkan hatinya dan menutupi kesedihannya. Berharap airmatanya bisa tertahan cukup lama.
“Kamu bohong kan Dee? Ayo bilang sama aku Dee kalau kamu bohong. Bilang Dee kalau kamu itu sebenernya cinta sama aku, ayo Dee” Diaz menatap Dee penuh harap.
“Diaz!” Bina memanggil Diaz dari arah perpustakaan dan melambaikan tangannya sambil tersenyum.
“Tuh, Bina manggil, aku ke ruangan osis dulu ya”.
Dee membalikkan badannya, meninggalkan Diaz dengan langkah yang pelan. Kakinya terasa berat, butiran airmata mulai berjatuhan satu persatu tanpa bisa di bending lagi.
“Dee…!”
“Dee….!”
Dee tidak menghiraukan panggilan Diaz, dia berusaha mempercepat langkahnya untuk menjauh dari Diaz dan bersembunyi dibelakang tembok lab Biologi. Dee menumpahkan airmata kepedihannya sampai beberapa detik kemudian menghapus airmata itu dan bersikap seperti biasa lagi, kuat dan tegar.
“Dee, apa aku harus teriak kalau aku sayang dan cinta sama kamu sekarang. Aku sama Sabrina sebenernya nggak pacaran Dee, aku cuma pengen kamu ngaku kalau kamu juga suka sama aku. Aku nggak akan lelah buat nunggu kamu sampai kamu lulus kuliah nanti, Dee. Aku janji” teriak Diaz didalam hatinya.
***
Satu tahun kemudian
Hari ini adalah hari ulangtahun Dee dan Diaz, bertepatan dengan hari perpisahan mereka di sekolah karena tiga hari yang lalu semua siswa angkatan 2007 di nyatakan telah lulus ujian nasional.
“Dee, ada kiriman nih buat kamu, bunganya hampir layu kena sinar matahari di depan gerbang rumah kita” ibu Mia meletakkan buket mawar serta kotak kado untuk Dee di atas meja kerjanya.
 “Dari siapa ma?” kening Dee berkerut, pasalnya baru kali ini ada kiriman bunga untuknya.
Ibu Mia menggeleng dan meneruskan kembali pekerjaannya untuk menyelesaikan gaun pengantin pesanan kliennya.
Dee membuka kartu ucapan yang melekat pada buket mawar itu.
“Hai, Dee.. Happy birthday.. semoga kamu semakin dekat dengan cita-citamu menjadi seorang designer J. Selamat untuk kelulusannya, dan juga kelulusan masuk PTN di jurusan yang kamu mau
-DD-“
Dee segera membuka kotak kado itu, ternyata isinya sebuah sepatu kets berwarna biru yang Dee inginkan beberapa bulan lalu, namun belum sempat dia beli. Di dalamnya ada sebuah surat kecil bertuliskan : “Pakai sepatu ini kemanapun kamu melangkah, sejauh apapun kamu pergi, sepatu ini akan membawa kamu menemuiku suatu hari nanti, Dee”.
“Dari siapa sayang?”.
“Ngga tau ma, gak jelas.. tapi isinya sih sepatu kets yang aku pengen”.
 “Yaudah pake aja nanti malem di acara perpisahan kamu, paduin sama gaun cantik dari mama” ibu Mia tersenyum dan mengecup kening putri kesayangannya sambil memberikan sebuah gaun berwarna putih hasil rancangnya, khusus untuk Dee.
   “Makasih ya, ma” Dee mencium kedua pipi mamanya dan memeluknya dengan erat.
  “Siapapun kamu.. aku berterimakasih untuk kado indah ini. Ini pertamakalinya aku dapet bunga mawar putih” Dee tersenyum dalam pelukan mamanya.
  Sementara itu Diaz tengah menikmati kue kiriman Dee serta membuka bungkusan kado berwarna biru itu. Ada sebuah kamera digital serta surat kecil di dalamnya.
“Hallo Diaz, selamat ulang tahun ya dan selamat atas kelulusannya.. semoga sukses melanjutkan studi di negeri Kangguru J, Potret apapun yang kamu mau, termasuk seseorang yang spesial untukmu. Semoga suatu hari nanti kamu akan memotret aku…”.
Detik-detik perpisahan itu semakin dekat. Ada dua hati yang memendam kesedihan mereka sendiri diantara kebahagiaan yang mengelilingi mereka malam ini. Dee tampil sangat menawan, dia terlihat semakin cantik dan peminim dengan balutan gaun berwarna putih rancangan mamanya yang dipadukan dengan sepatu kets pemberian Diaz. Diaz terpana menatap Dee, dia tak henti-hentinya memotret seluruh gerak gerik Dee, dia bahagia melihat Dee mengenakan sepatu pemberiannya malam ini.
Mereka saling mencuri pandang, Dee tersenyum melihat Diaz yang memakai kamera pemberiannya untuk mengabadikan momen indah malam ini. Momen perpisahan yang akan membuat jarak mereka semakin jauh. Mereka masih enggan saling menyapa, sejak Diaz bersama Sabrina, Dee tidak ingin ikut campur lagi ke dalam kehidupan Diaz.
“Ok, guys.. diakhir acara malem ini, aku Prita mau ngucapin selamat atas kelulusan kita semua dan semoga kita semua sukses yaa. Kenangan tentang kalian bakalan selalu aku ingat sampai tua. Oh iya, aku mau ngucapin selamat ulang tahun untuk dua temen kita yang cukup populer di sekolah. Selamat ulang tahun ya Dee dan Diaz”.
 “Ayolah Dee, ucapin selamat ulang tahun dan satu kalimat perpisahan aja buat Diaz, sebelum kamu nyesel” bisik Salsa.
 “Hei, Dee” Diaz terlebih dahulu menghampiri Dee.
  “Hei” senyum Dee terlihat kaku.
 “Selamat ulang tahun ya, dan selamat jadi anak kuliahan. Aku denger kamu lulus di PTN dengan jurusan yang kamu mau” Diaz mengulurkan tangannya kepada Dee dan tersenyum manis.
  “Kenapa rasanya hati ini gak rela buat pisah jauh sama kamu yang bakalan lanjutin kuliah di Australia. Kenapa rasa cintaku gak pernah berkurang sedikitpun padahal aku udah berusaha buat lupain kamu selama setahun ini”.
***    
Enam tahun kemudian….

Dee berhasil mewujudkan keinginannya. Dia menjadi designer terkenal seperti mamanya. Rancangan bajunya sangat populer dikalangan anak muda. Namun, kebahagiaannya masih terasa kurang, hatinya masih kosong.. belum terisi oleh siapapun. Hanya sisa kenangan Diaz yang masih terukir disana. Sepatu pemberian penggemar rahasianya itu masih dia pakai walaupun warnanya sudah sangat pudar.
 “Ini udah tahun keenam aku pake sepatu pemberian kamu yang entah siapa. Aku ngikutin kata-kata kamu untuk terus pake sepatu ini dengan harapan aku bisa tahu siapa kamu” ucap Dee di dalam hatinya.
   “Idih, sepatu butut gitu masih aja di pake dan diliatin terus!” protes Salsa.
  “Sepatu ini tuh spesial Sa, gak akan aku pensiunin sebelum aku ketemu siapa yang ngasih sepatu ini buat aku!”.
   “Kalau orangnya udah lupa, gimana? Atau udah almarhum?”.
    “Ih Salsa… mulutnya”.
     Salsa tersenyum manis “Maaf, kan cuma menduga-duga”.
     “Udah ah, mendingan kita pulang aja. Aku udah capek” Dee segera mengambil tasnya dan keluar dari butik milik ibunya.
   Karena jarak butik dengan rumah tidak begitu jauh, Dee lebih memilih naik angkutan umum atau berjalan kaki. Untuk malam ini, dia memutuskan untuk berjalan kaki, menikmati lampu penerangan yang temaram dikota Bandung. Di seberang jalan sebelum kompleks perumahannya Dee melihat ada banyak kembang api yang bertabur menghiasi langit malam. Ternyata ada pasar malam, Dee terlihat sangat girang dan bergegas menuju kesana. Pasar malam ini kembali hadir disana setelah sekian tahun lamanya. Dee pernah kesana bersama Diaz, saat mereka masih dekat.
    “Dee, ngapain sih kesini?!” protes Salsa.
   “Udah deh diem aja, aku itu pengen naik bianglala, main tembak-tembakan yang hadiahnya boneka terus makan gulali sama arum manis” Dee berlari-lari kecil dan terlihat riang gembira, sampai tak sengaja menginjak kaki seorang laki-laki yang sedang asyik memotret dengan kamera digital yang sudah ketinggalan zaman.
   “Maaf, nggak sengaja” Dee memejamkan matanya karena tidak ingin melihat wajah penuh kemarahan dari orang yang kakinya terinjak.
   Diaz belum menatap Dee, dia masih membersihkan sepatunya yang terinjak, Diaz terlihat kaget begitu melihat sepasang sepatu kets lusuh dihadapannya. Dia masih ingat kalau sepatu itu pernah dibelinya dan diberikan kepada Dee, wanita spesial yang masih menempati seluruh ruang dihatinya.
 “Sepatu…” Diaz berucap pelan.
 “Dee? Apa aku nggak salah liat? Apa ini halusinasi aku aja?”.
  Dari kejauhan Salsa tersenyum dan melambaikan tangannya kepada Diaz. “Kalau cinta dan jodoh itu emang gak kemana ya” ucap Salsa dalam hati.
  Kini Diaz yakin kalau wanita dengan sepatu kets lusuh dihadapannya itu adalah Dee.
  “Bener kan kata aku, kalau kamu pakai sepatu itu kemana pun kamu melangkah, suatu hari nanti sepatu itu bakalan ngebawa kamu buat nemuin pemiliknya"
            Dee mendongak “Diaz?”.
            Diaz mengangguk dan tersenyum.
            “Jadi kamu yang ngasih aku sepatu ini?”.
            “Iya, hebatkan aku bisa bikin designer terkenal pake sepatu butut kemana-mana?”
          “Ih, nyebelin ya.. kamu tega banget nyuruh aku nunggu lama, nyuruh sepatu ini yang nganterin aku buat nemuin kamu. Kalau ketemunya 50 tahun lagi gimana, coba?”.
         “Ah lebay banget sih kamu, Dee.. aku pengen tau aja, kamu bakalan ngehargain pemberian dari orang yang cuma ngasih inisial gak jelas atau nggak. Dan sekarang aku yakin kalau kamu beneran cinta dan suka kan sama aku?”.
         Wajah Dee terlihat merah padam, tebakan Diaz memang benar. Dee masih mencintainya bahkan sampai saat ini.
            “Kamu juga, buktinya masih pake kamera yang aku kirim” Dee membalas ucapan Diaz.
         “Aku emang suka, sayang dan cinta sama yang namanya Dee dari dulu. Sampai-sampai aku setia banget ngejomblo selama 9 tahun”.
            “Masa?”.
            “Iya, cewek preman yang cantik!”.
            “Kamu kan dulu pacaran sama Bina!”.
         ‘Hahahaha’ Diaz tertawa geli mendengar pernyataan Dee tentang status hubungan palsunya dengan Bina. Sementara itu Dee terlihat kesal sekaligus bahagia mendengar pengakuan Diaz. Akhirnya keduanya sama-sama mengakui kalau mereka menyimpan rasa sayang dan suka mereka selama bertahun-tahun.
           “Terus kenapa kamu nggak bilang dari dulu?” tanya Dee yang kini tengah menikmati bianglala bersama Diaz sambil memakan arum manis yang sengaja dibeli Diaz untuknya.
            “Kenapa ya? Kok kamu malah nanya aku sih?”.
          “Ih, kan kamu yang tahu jawabannya Diaz” Dee membalikkan wajahnya dan menatap Diaz dengan kesal.
           “Kamu tambah lucu deh kalau marah” goda Diaz.
            “Jawabannya itu karena kamu ngomong sama aku kalau kamu nggak mau punya pacar sampai lulus kuliah nanti. Yaudah aku simpen aja perasaan aku dan aku tunggu saat yang tepat. Saat Tuhan mempertemukan kita kembali dengan perasaan yang masih sama seperti dulu”.
          Dee terharu mendengar kata-kata yang Diaz lontarkan. Dia menitikkan airmata kebahagiaannya dihadapan Diaz. Diaz segera menghapus airmata itu dengan kedua tangannya. Beberapa saat kemudian dia mengeluarkan satu tangkai bunga mawar putih serta kotak kecil dari dalam jaket yang dia kenakan.
          “Sekarang, kamu mau ngga jadi istri aku? Nemenin sekaligus mencintai aku selama-lamanya?” Diaz mengenggam kedua tangan Dee dan menunggu jawaban iya dari bibir mungil itu.
            “Hah?”.
          “Kok malah hah, sih! Aku itu ngelamar kamu buat jadi pendamping hidup aku yang pertama dan terakhir, yang bakalan setia nemenin aku sampai mata aku nggak terbuka lagi"
            Dee mengangguk dan tersenyum. Dia menerima lamaran Diaz, akhirnya cinta itu benar-benar terbalas. Rasa sakit dan kepedihan itu kini sirna dan tergantikan oleh kebahagiaan yang tidak terkira dari Diaz. Dee tidak perlu lagi bermimpi untuk bisa dicintai Diaz, semuanya nyata dan ada di depan mata. Penantian panjang itu tidak berakhir dengan kesia-siaan dan sepatu itu benar-benar menuntun Dee untuk menemukan pengirimnya sekaligus cintanya.