26 May 2014

Tercipta Bukan Untukku, Cerpen

Oleh : @GeMaulani

Catatan penulis :
Bisa jadi cerita ini berasal dari kejadian nyata yang di alami oleh sang penulis. Tapi bisa jadi ini hanya cerita hasil karangan penulis dengan imajinasinya yang terlalu tinggi tentang cinta. Dan penulis yang keracunan lagu “Whereever You Are” Jadi mohon maaf apabila ada kesamaan tempat, waktu, tokoh dan kejadian ya. Cerpen ini pernah di ikut sertakan dalam sebuah lomba bertemakan penyesalan dengan judul dan isi yang telah aku perbaharui sedikit. Namun, tidak berhasil lolos. Dan memutuskan untuk mempostingnya hari ini saat penulis sedang down dan  kehilangan percaya diri untuk mengikuti beberapa lomba.
So, enjoy for reading :)

                Apa yang kau anggap baik, belum tentu baik. Begitu pun aku, menurutmu aku begitu baik dan pantas untuk bersamamu. Tapi, bagiku aku tak pantas untuk memilikimu yang begitu baik terhadapku. Karena aku tak cukup baik untuk menemani setiap langkahmu. Seperti potongan kalimat dalam novel Perahu Kertas karya Dee : “Cari orang yang bisa ngasih kamu segala-galanya, apapun itu … tanpa harus kamu minta” dan aku sudah menemukan kamu. Namaku Ana dan usiaku 19 tahun saat itu.
//Whereever you are I always make you smile
Whereever you are I always by your side
Whatever you say kimi wo omou kimochi
I promise you forever right now//
One Ok Rock – Whereever You Are
Lagi-lagi aku memutar lagu itu tanpa henti, seolah tak pernah bosan dengan lirik serta iramanya. Entah virus apa yang telah meracuni pikiranku untuk terus memutarnya. Potongan lirik-lirik itu telah membiusku, membuatku terbang melayang di angkasa. Menambah penyesalan yang sampai saat ini belum kutemukan ujungnya. Lagu itu pernah didendangkan oleh seseorang melalui video youtube saat aku dan dia masih dekat. Dan kini aku merindukannya.
Sekarang semuanya telah berbeda, dia menjauh sejauh tempatnya berada di negeri matahari terbit. Hembusan angin telah membawanya pergi tapi tidak dengan kenangannya. Kenangan manis yang selalu terukir indah di hati dan pikiran ini. Sekarang aku benar-benar merasakan artinya kehilangan. Kehilangan dia yang menyayangiku dengan tulus. Kehilangan canda dan tawa yang selalu dia bagi bersamaku. Kehilangan perhatian dan segala bentuk komunikasi digital dengannya. Semuanya telah memudar, bahkan menghilang di telan bumi, mungkin rasa yang dulu dia punya juga sama.
***
Cinta ini aku yang rasa, suka ini mata aku yang memulainya dan sayang ini aku yang tahu, aku yang pendam. Tidak ada satu orangpun yang tahu jika aku masih menyayangi dia, termasuk mantan terakhirku. Dia menertawakan dan mencemooh Divo, laki-laki ketiga terbaik setelah Dian dan Dani yang aku kenal, bedanya Divo itu tidak menjadi pacarku sama halnya seperti Alif. Ini berawal saat aku mengirimi pesan facebook kepada Dimas.
“Udah punya pacar lagi ya, Dim?”
“Iya”
“Syukur deh, selamat yaa udah bisa balikan lagi sama mantan cantiknya. Semoga langgeng”
“Iya, makasih ya Ana, Kamu juga semoga dikirimin lagi boneka sama aa Divo, biar tambah banyak koleksinya. Hehe”
“Iya sama-sama … pertahanin ya jangan gonta ganti pacar terus. Sekarang aku udah gak akrab lagi kayak dulu sama dia. Lagian kalau sampai dikasih lagi aku gak enak. Nanti nambah koleksi dari hasil sendiri ajalah”
“Iyaa pasti. Ya nggak lah itu gonta ganti kan karna banyak yang gak cocok. Iya kasian ngirimin dari sana jauh.. jadi kepikiran buat ongkos kirimnya kalau aku, hahahaha Divo, Divo”.
“Iya, gak tau kenapa dia mau ngirimin jauh-jauh dari sana. Mungkin karna dia orangnya baik banget”.
“Usaha it utu ceritanya, tapi usaha yang konyol hahahaha piss”.
“Ini gak konyol tau, ini tuh keliatan banget usahanya dia buat bahagiain aku, gak kayak kamu bilang aku matre padahal aku gak pernah minta apapun sama kamu dan dikasih apa-apa sama kamu!” kesalku dalam hati.
“Menurutku dia gak konyol, aku acungin dua jempol. Top banget buat pengorbanannya”
“Hahaha.. kalau buat aku nggak! Buat aku dua jempol itu buat orang yang rela mati buat pasangannya”
Aku semakin kesal pada Dimas, aku tidak terima saat dia mengatakan hal yang dilakukan Divo itu konyol. Divo itu laki-laki yang baik dan rela berkorban. Divo adalah tipe laki-laki yang tidak neko-neko. Divo itu menyenangkan dan selalu memberikan kedamaian di hati ini. Dia bukan laki-laki penggombal dan penebar janji palsu. Tapi laki-laki yang baik itu biasanya tidak aku jadikan pacar dengan alasan dia terlalu baik untuk menjadi seorang pacar. Aku telah menolak Divo untuk kedua kalinya. Pertama waktu masih sekolah dan saat itu Divo masih digosipkan suka kepada Nita, salah satu teman baikku di kelas.
“Aku suka sama kamu An, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
“Kenapa kamu bisa sayang sama aku? Kenapa nggak sama Nita aja, dia itu lebih cantik, pinter dan lebih segala-galanya dari aku. Dia lebih cocok sama kamu daripada aku", padahal sayang yang sebenarnya itu tidak memerlukan alasan apapun.
Perasaan takut dan ragu itu selalu menyelimuti hati dan pikiranku, ketika seseorang yang dulunya pernah menyukai temanku tiba-tiba saja berkata demikian padaku.
“Apa aku hanya pelampiasan dia karena dia ditolak oleh Nita?” aku meragu ketika membaca pesan singkat dari Divo, laki-laki yang aku kagumi saat itu. Rasa kagum yang berbalut rasa suka itu datang begitu saja tanpa bisa di halang-halangi.
Aku teringat kenangan manis ketika pulang menjenguk guru bahasa jepang yang sakit. Waktu itu sudah pukul 9 malam dan tidak ada kendaraan umum untuk pulang. Akhirnya aku diantarkan pulang oleh 2 kakak kelas dan juga duduk berboncengan dengan Divo, di tambah lagi hujan gerimis yang menemani perjalanan pulang kerumahku. Waktu aku tiba di depan rumah, dia tersenyum, dan senyumannya itu sangat manis, mampu menggetarkan hati ini.
“Aku udah gak peduli soal Nita, sekarang aku sukanya sama kamu”
“Apa karna Nita sekarang berpacaran dengan kak Aris?”
“Bukan An, aku itu sayang sama kamu, suka sama kamu”
“Lebih baik kita sahabatan aja Vo, kamu itu laki-laki yang baik dan gak pantes buat aku. Lagipula kamu tahu kan kalau Alif, temen sekelas kamu juga suka sama aku”
***
Sejak peristiwa itu, sikap Divo tidak berubah kepadaku seperti laki-laki lain yang pernah aku tolak. Divo itu dewasa dan mampu menjaga sikapnya, dia tahu cara memperlakukan wanita dengan sopan. Dia tidak menggoda, tapi dia menyapa dan tersenyum dengan sopan, itulah yang membuatku jatuh hati padanya. Sampai akhirnya aku menerima cinta Fajri, teman dekat Divo dan Alif saat itu. Bodoh memang, Alif dan Divo yang baik hati aku tolak dan lebih memilih Fajri yang sering mengabaikanku. Tidak ada yang tahu kalau aku berpacaran dengan Fajri, kecuali Banyu teman dekat Fajri yang sudah bekerja di Jepang bersama Alif dan juga Divo.
Dua bulan sebelum keberangkatan Fajri ke Jepang, aku berbalik sering mengabaikannya. Saat itu Divo kembali menghubungiku kembali dan menyatakan kalau dia masih menyayangi dan mencintaiku. Aku bingung harus berkata apa. Di sisi lain sebenarnya aku masih mencintai dia, tapi di sisi lainnya aku mempunyai kekasih dan dia adalah temannya sendiri.
“An, aku masih sayang sama kamu sampai sekarang”.
“Kamu punya pacar ngga sih?”.
Aku memlih bungkam “Hehehe, nanti juga kamu tahu, Vo”.
“Kok gitu sih? Aku kan penasaran, aku masih sayang kamu An, kamu mau ngga jadi pacar aku?”.
“Kalau boleh jujur, aku juga sayang kamu Vo, dari dulu” jawabku dalam hati.
***
Akhirnya tanpa pesan terakhir dan tanpa kata putus, Fajri memiliki kekasih baru yang mengirimi aku pesan facebook dan mengatakan ‘teteh Barbie busuk’ lewat statusnya kepadaku. Tapi, aku sudah tidak peduli dengan semua itu, yang aku pedulikan sekarang adalah perasaan Divo.
“Wah, Ana pasti banyak yang suka yah dikampusnya?” pesan facebook baru dari Divo.
“Ah nggak kok, disini gak ada yang suka sama aku” jawabku bohong, padahal aku hampir saja melupakannya gara-gara dia, si kakak kelas yang awalnya menyebalkan untukku.
“Masa sih nggak ada yang suka? Berarti aku boleh daftar dong?”
“Boleh kok boleh” sedikit ragu.
“An, kamu mau nggak jadi pacar aku?”
Lagi-lagi pertanyaan itu membuat mulutku mengatup, bungkam seribu bahasa. Sekujur tubuhku terasa kaku tak bisa bergerak. Aku terduduk lemas dan mataku mulai berembun, aku bingung setiap kali Divo menanyakan hal itu. Aku menyukainya, aku menyayanginya tapi aku tak bisa bersamanya. Divo itu terlalu baik untuk ku jadikan pacar, Divo lebih cocok untuk di jadikan pendamping hidup selamanya.
“Aku nggak mau nantinya kamu kecewa kalau aku nerima kamu, Vo, aku juga nggak mau Alif lebih kecewa lagi.. kamu juga akan kecewa kalau tahu aku pernah berpacaran dengan Fajri. Aku nggak pantes buat kamu Vo, aku orang yang mudah bosan.. apalagi kamu jauh disana” tambahku dalam hati.
“Woy, ngelamun aja An” Arin masuk kedalam kamarku dan membuyarkan semua pikiranku tentang Divo.
“Divo,  Rin, dia nembak aku lagi”.
“Lah, ditembak kok mukanya malah sedih gitu? Divo yang semalem nelpon ya?”.
“Apa, Rin?” aku kaget mendengar pernyataan Arin barusan.
“Iya, semalem ada yang telpon gitu beberapa kali pas aku sama Indah pulang. Kamunya sih tidur pules, kita nggak tega buat bangunin jadinya aku angkat deh terus bilang kamu udah tidur”.
Dari situlah aku memilih untuk mundur dan menjauhi Divo, aku mengabaikan teleponnya, smsnya dan juga message facebooknya. Sampai akhirnya dia mengirimkan sebuah boneka kesukaanku, kaos berbahasa jepang dan sepucuk surat. Aku bahagia sekali saat menerimanya, tapi aku juga sedih, karna sehebat apapun pengorbanan dia kepadaku, aku tetap tidak bisa menjadi kekasihnya karna aku yakin akan ada orang yang tepat yang Tuhan ciptakan untuk bersamanya.
Tapi kini aku menyesal, menyesal telah membuatnya menjauh secara tidak baik. Menyesal telah mengabaikannya dan menyesal karna tidak sempat mengutarakan isi hatiku yang sebenarnya. Kini aku hanya bisa memandanginya melalui facebook tanpa berani mengirimi dia pesan. Untuk sekedar berkomentar di fotonya ataupun sekedar menyukai statusnya pun aku enggan. Sekarang aku sendiri, dalam kehampaan dan kekosongan hati.
Aku tahu waktu tidak bisa di putar ulang dan aku tidak bisa memperbaiki semuanya. Aku harus sadar kalau Divo tidak akan kembali lagi dan tidak mencintaiku lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Penyesalan memang selalu berada di akhir, dan aku benar-benar menyesal telah membiarkan orang yang tulus mencintaiku apa adanya pergi dan menghilang tanpa pernah bisa kembali lagi. Tapi sesalku memang sudah tak berarti. Mungkin, dia memang tercipta bukan untukku tapi untuk yang lain. Terimakasih untuk hati yang tak pernah lelah menunggu selama 3 tahun dan segala kebahagiaan yang telah kamu beri.
//Cinta memang banyak bentuknya
Mungkin tak semua … bisa bersatu//
Tulus – Sepatu
25 May 2014

Buku Antologi Cerpen ke 11 Pena House

buku antologi cerpen kamuflase

Ini merupakan Buku Antologi Cerpen ke 11 dari Event Kamuflase "Kamuflase #1" oleh Pena House di tahun 2014.

Telah Terbit!! Pembelian 10 buku gratis ongkir ke seluruh Indonesia
Kamuflase – Cerpen #1
Copyright © 2014 by Irene Fitriana Wahyuni, dkk
vii + 120 hlm. ; 13 x 19 cm
Editing Aksara : Siti Khumairah M Nur
Setting dan Layout : Lavira Az-Zahra
Design : Lavira Az-Zahra
ISBN : 978-602-70477-3-0
Cetakan Pertama, Mei 2014.
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Diterbitkan Oleh :
Pena House
Jalan KNPI Gg. Cendrawasih, Bangkle, Blora
Jawa Tengah - 58200
Phone : 08995718264
Email : azzahra.house834@gmail.com
Website : www.penahouseagency.blogspot.com
Harga :
Umum : 40.000
Penulis : 35.000

PEMESANAN : via sms atau whatsapp.
CDD#1_Nama_Alamat_Jumlah Buku.
Kirim ke 08995718264.

CDD #1 :
1.Tak Teraba oleh Alya Nur Fadhilah.
2.Dalang oleh Rela Sabtiana.
3.Di Atas Dusta oleh Nastain Achmad Attabani.
4.Selaput Cinta & Benci oleh Juliana.
5.Membekas di Hati oleh Lu’lu Ngaqilah.
6.Dusta Berdalih Cinta oleh Jay Wijayanti.
7.Kasih yang Berdusta oleh Yoade Septiana Ayu Hanglevi.
8.First Snow oleh Irene Fitriana Wahyuni.
9.Tak Semanis Lagu Rindu oleh : Ge Maulani
10.Ketika Kesetiaan Dibalas Kedustaan oleh Bunga Sholekha.
Tertarik untuk membeli dan menikmati kisah-kisah di dalamnya?. Kesetiaan dan cinta yang berakhir pada pengkhianatan. Hubungi Penerbitnya ya www.penahouseagency.blogspot.com
22 May 2014

Mengenang TI Fast track 2011

      Rasanya baru kemarin aku menginjakkan kaki di kampus yang di dominasi oleh warna orange itu. Sekarang aku sudah tersesat di hutan belantara tanpa ada yang menemani. Semuanya sudah berubah sejak 01 Oktober 2013. Aku tak lagi mengenakan seragam berwarna krem dan bawahan cokelat itu. Tak ada lagi mereka yang tertawa bersamaku dan berada di sampingku. Tapi sebenarnya mereka masih setia menyemangatiku melalui dunia lain. Jarak telah memisahkan kami yang telah lulus maupun mereka yang masih berjuang menyelesaikan babak final "Tugas Akhir". Dua tahun terasa sangat singkat untuk aku jalani. Entahlah kalau menurut mereka. Intinya semua sibuk dengan kehidupan masing-masing.
      Berhubung aku masih menjadi seorang pengangguran dan hidup terlunta-lunta. Terbang ke sana kemari terbawa angin. Padahal angin tidak mungkin menerbangkan tubuhku yang semakin melar ini. Membuat Tagline salah satu iklan susu semakin menyudutkanku "Tumbuh tu ke atas gak ke samping"
Tapi ... biarlah mereka berkata apa karna begini adanya.
        Masih ingatkah kalian padaku? masih ingatkah kalian dengan blog usang hasil karya xxx dan yyy ini? yang dikerjakan melalui warnet karena salah satu operator modem yang digunakan mereka mengalami gangguan jaringan selama berminggu-minggu. Coba lihat :
Mengenang TI Fast track 2011
Tak ingat tak apa-apa kok. Tenang aja ... Aku rak popo. Tapi mulai hari ini aku akan membahas tentang kalian, tentang kita. Mohon maaf apabila ada yang merasa tersakiti. cc nama-nama yang ada pada gambar di bawah ini :
Untuk tahun posting aku mulai dari tahun 2011 dengan label RoTI FasTA ( Bukan Alay tapi mau bagaimana lagi singkatan yang sebenarnya ya begitu) tapi biar enak di lihat jadi ROTI FASTA saja-lah . Mari ikuti lanjutan ceritanya beberapa menit, jam, hari, minggu atau ketika Mood-ku sedang baik ya :) . Miss u all terutama yang berempat.

Buku Antologi Cerpen Ke 10

buku antologi cerpen aku mencintaimu karena allah

Ini adalah Buku Antologi Cerpen Ke 10 Berjudul "Aku Mencintaimu Karena Allah Ta'ala" oleh CN TRO dan AE Publishing.

Tertarik untuk membeli?
Hubungi saja penerbitnya di alamat http://aepublishing.blogspot.com/2014/05/aku-mencintaimu-karena-allah-taala.html

Aku Tersesat tapi Aku Memiliki Mereka

      Entah kenapa kali ini aku merasa benar-benar tersesat. Aku berhenti sangat lama di tengah perjalanan panjang ini. Dulu, aku tak pernah merasa tersesat begitu parah seperti sekarang ini. Untuk merangkai kata saja aku butuh waktu yang sangat lama, berbeda dari hari-hari sebelumnya.  Aku tak bisa berkonsentrasi dengan apa yang sedang kukerjakan. Selama lima bulan ini ... aku menganggap semua ini liburan panjang yang Tuhan berikan untukku. Tapi pada kenyataannya, aku mulai jenuh dengan kondisiku yang seperti ini.
     Aku merasa malu pada diriku sendiri. Aku belum bisa seperti kakak. Aku belum bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan kakakku. Aku kecewa pada diriku sendiri. Siklus kehidupanku masih belum berubah juga. Belum lagi pertanyaan yang sama selalu setia menghujaniku dan terasa menusuk.  
         "Kok ada di rumah? nggak kerja?"
         "Kapan kerja lagi?"
         "Kerja di mana?"
         Maklum seorang pengangguran cukup akut sepertiku ini perasaannya lebih sensitif dan mudah tersinggung.
         Dulu aku selalu bilang mau ngikutin jejak kakak. Dari mulai SD, SMP, SMK semuanya sama dengan kakak. Perbedaannya terletak pada jurusan yang di ambil saat SMK. Sekarang aku putus asa karna "Aku ingin kerja di tempat kakak kerja tapi kenapa nggak ada panggilan buat test ke perusahaan itu sampai sekarang?" :'( . Mungkin rezekiku belum tiba.
         Terlepas dari semua itu, aku berterimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikanku roh dan raga yang lengkap untuk terlahir ke dunia ini. Terlahir di dalam keluarga kecil yang menyayangiku. Mereka tak pernah berhenti mendo'akan serta menyemangatiku. Aku memang belum mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku serta berbeda dengan jurusan saat aku mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Tapi aku beruntung memiliki mereka di dalam kehidupanku. Meskipun aku benar-benar merasa tersesat dan bimbang harus melangkah ke arah yang mana.


12 May 2014

Buku Antologi Cerpen ke 9

Ini merupakan Buku Antologi Cerpen ke 9 dari Event FTS "Anak Kost Vs Tanggal Tua #1" oleh Penerbit Harfeey dan Boneka Lilin. Yang mana eventnya diadakan di facebook.

buku antologi cerpen anak kost vs tanggal tua

Anak Kost VS Tanggal Tua #1
#GakLahYau

Genre : FTS inspiratif
Penulis :Boneka Lilin et Boliners
Editor & Layout : Boneka Lilin
Design Cover : Ary Harfeey
Penerbit : Harfeey
ISBN : 978-602-1200-58-2
Tebal : 160 Hlm, 14,8 x 21 cm (A5)
Harga : Rp40.000,- (Harga kontributor Rp34.000,-)
CP Order : 081904162092 (Infokan judul, jumlah, alamat)

Sinopsis

Tak perlu banyak kata, cukup baca dan mari ikuti kisahnya. Pengalaman seru-haru, dibanjiri keluh dan cucuran peluh. Yang mampu membuat meringis disertai miris, sambil dalam hati berujar, "Ini juga yang kurasakan dulu."

***
Penulis Kontributor:
Boneka Lilin, Hastira Soekardi, R-Qie, Putri Meila, Dianita Devi Putri, Sundariati Puji Rahayu, Ahsani Taqwyma, Rere Zivago, Zummatul Atiqo, Ge Maulani, Dwi Anisa Faqumala, Dra. Lifya, Lenni Ika Wahyudiasti, Ahmad Tirmidzi, Zafina Gie, Nainy Zuraidah, Di eS, Ocha Thalib, Yulia Mutiara Ahyadini, Nur Fajrina Rakhmawati, Nurbagus, Nisa Andini Sofyan, Samudrawan Kertapati, Apri Eza

Buku Antologi Cerpen ke 8

buku antologi cerpen ke 8

Ini merupakan  Buku Antologi Cerpen ke 8 yabg berhasil terbit dari Event Cernak "Dongeng Sebelum Tidur #3" oleh Penerbit Harfeey dan Boneka Lilin.

Dongeng Sebelum Tidur #3
"Pengantar lelap si Malaikat Kecil"

Genre : Kumcernak inspiratif
Penulis :Boneka Lilin et Boliners
Editor & Layout : Boneka Lilin
Design Cover : Ary Harfeey
Penerbit : Harfeey
ISBN : 978-602-1200-62-9
Tebal : 140 Hlm, 14,8 x 21 cm (A5)
Harga : Rp37.000,- (Harga kontributor Rp31.000,-)
CP Order : 081904162092 (Infokan judul, jumlah, alamat)

Sinopsis

Menasehati tidak hanya bisa dilakukan dengan tindakan tersurat, ada banyak media yang bisa menjadi pilihan untuk lebih mengena di benak si Malaikat Kecil. Salah satunya apa yang dilakukan oleh para penulis pilihan dalam buku ini. Mereka uraikan cerita yang menyiratkan nasehat bijak namun tak terkesan menggurui. Dapat dipastikan bisa sukses mengantar Malaikat Kecil menyambut mimpi indah dengan kisah yang sarat hikmah.

***
Penulis Kontributor:

Boneka Lilin, Henny Puspitasari, Nuril Islam, Yuliza Azella, Desti Anisa Zoraida, Fitt Rilaily, Islah Wardani, Muhammad Fadhli, Lenni Ika Wahyudiasti, Aula Bilal, Nidhom VE, Ge Maulani, Fitria Ragil Diana Lestari, Meiga Lettucia, Rere Zivago, Atik Suryani, Pajri Brilian, Khanis Selasih, Hastira Soekardi, Linda Budi Rahayu, Hanat Futuh Nihayah, Putri Meila, Lisdawati
— with Boneka Lilin in Yogyakarta.
10 May 2014

I Smoke Every Day, I Became Zombigaret

I became zombigaret I smoke every day
         Kepulan asap rokok masih membumbung tinggi memenuhi setiap ruang di kamar sempit ini. Aku mendapatkan ketenangan serta kenikmatan saat menghisapnya. Aku kecanduan sejak pertama kali mencobanya bersama teman-temanku. Saat itu aku baru duduk di bangku SMP. Aku bisa menghabiskan tiga bungkus rokok dalam sehari. Semua uang jajanku ludes untuk membeli kenikmatan sesaat ini. Kebiasaan buruk ini berlanjut hingga sekarang, usiaku 22 tahun.
“Adit, kapan kamu mau berhenti merokok?” ibu membuka pintu kamarku, membiarkan asap-asap itu menghilang sedikit demi sedikit.
Aku melengos, tak peduli.
“Kamu itu harus hemat Dit, apalagi belum dapat pekerjaan baru”
“Uang kok di bakar-bakar! Lagian gak bagus buat kesehatan kamu”
Lagi-lagi ibu memprotes kebiasaan burukku ini.  Sama halnya seperti bapak yang tidak merokok, ibu selalu bilang kalau merokok itu tak ada gunanya. Hanya menghambur-hamburkan uang dan menimbulkan penyakit.
“Itu bibirmu kenapa, Dit? Kok ada benjolan-benjolan kecil gitu?” ibu mendekatiku dan menyentuh salah satu benjolan sariawanku.
“Aduh, Bu … jangan di pegang!” pekikku, “sakit”
“Makannya jangan ngerokok terus. Jadinya kan kena sariawan. Nafasmu bau, gigimu kuning. Tubuhmu makin kurus”
Aku tak memperdulikan nasehat-nasehat dari ibu ataupun bapak. Hingga akhirnya sariawanku semakin parah. Bukan hanya di bibir, lidahku pun ikut terkena sariawan.  Benjolannya terlihat semakin membesar di sertai darah dan nanah yang keluar dari dalamnya. 
“Arghhhhhhhh …. Udah sariawan nggak sembuh-sembuh. Rokok pake abis segala lagi!” aku melempar bungkusan kosong itu ke lantai, kesal.
Akhirnya aku keluar dari dalam rumah. Seperti biasanya aku berjalan menyusuri gang-gang sempit di sekitar rumahku. Satu-satunya jalan menuju warung.  Entah mengapa aku merasa di perhatikan. Mereka menatapku, jijik.
          “Bu, bau ………………..!” teriak seorang anak sambil menunjukku.
          Aku mempercepat langkahku menuju warung yang terletak di ujung jalan. Melupakan apa yang baru saja kulihat.
      “Dit, pake masker dong kalau keluar rumah. Mulut kamu kan bau!” tegur Soni, salah satu rekanku.
           “Kalau pake masker, aku nggak bisa ngisep rokok, Son!”
           “Bu, rokoknya dua bungkus ya!” teriakku seperti biasanya.
           Ibu itu menyerahkan dua bungkus rokok yang kuminta, aku segera membayarnya.
***
Lidahku terasa semakin kelu. Tapi aku tetap menghisap batang-batang rokok itu sampai habis. Semakin hari, sariawanku semakin parah. Bibirku bengkak dan berubah bentuk. Tubuhku semakin kurus karena aku kesulitan untuk mengunyah dan menelan makanan. Sudah berhari-hari aku kehilangan nafsu makan. Bahkan untuk minum pun rasanya sungguh menyakitkan. Belum lagi penyakit batuk yang menyerangku. Membuat nafasku sesak, susah tidur dan selalu gelisah. Seluruh tulang yang melekat di tubuhku terasa sakit tak jauh beda dengan kepalaku.
          “Ohok .. Ohok … Ohok” aku terkejut melihat dahak yang keluar dari mulutku.
         Darah memenuhi telapak tangan yang kugunakan untuk menutupi batuk. ibu melihat penyakitku semakin lama semakin parah. Akhirnya ibu membawaku berobat ke dokter. Dunia terasa runtuh saat dokter memvonisku terkena kanker mulut serta kanker paru-paru.
         “Ibu .. Ibu .. ada zombie!” seorang anak berlari menghampiri ibunya ketika melihatku.
         “Itu bukan zombie nak, itu manusia”
         “Tapi dia mengerikan Bu, seperti zombie”
     Aku menatap diriku di cermin. Tubuhku terlihat sangat kurus. Hanya terbungkus kulit tanpa daging. Wajahku pucat pasi. Bibirku penuh darah dan nanah. Anak tadi benar, aku terlihat seperti zombie. Kini aku menyesal telah mengkonsumsi rokok dalam jumlah banyak selama bertahun-tahun. Semua orang menjauhiku. Aku nampak menjijikan dan menyeramkan. Hidupku telah terenggut oleh kenikmatan sesaat. Kandungan zat beracun itu telah menyebar ke seluruh tubuh. Aku merasa seperti mayat hidup. Aku hidup bergantung pada kemoterapi. Merokok benar-benar dapat membunuhku.
       Untuk kalian yang masih merokok, berhentilah sekarang juga. Jika tidak, tunggulah sampai kalian menjadi zombigaret sepertiku. Terasing dari dunia luar dengan beragam penyakit yang menggerogoti tubuhmu. Untuk yang tidak merokok, jangan pernah coba-coba untuk menghisapnya. Hindari rokok serta asapnya untuk menyelamatkan uangmu serta hidupmu.

7 May 2014

Ojek Mang Ujang, Cerpen

          Masih seperti hari-hari sebelumnya, mang Ujang selalu siap 24 jam mengantarkan penumpang ojeknya sampai ke tempat tujuan. Udara dingin, udara panas dan hujan sekalipun tak pernah menghentikannya untuk mencari nafkah. Semua itu dilakukannya demi keluarga tercinta. Tak pernah ada keluh kesah yang keluar dari mulut mang Ujang. Semenjak dua orang anaknya masuk SMA dan satu lagi masuk perguruan tinggi, mang Ujang harus bekerja lebih giat lagi.
            “Jang, belum pulang kau? Sudah jam sebelas malam ini! aku duluan ya.. ngantuk.. lagipula tak ada penumpang malam-malam begini.” Bang Tigor pamit pulang kepada mang Ujang.
            “Aku lembur saja bang, siapa tahu ada pegawai pabrik yang hendak pulang, kan lumayan buat tambah-tambah.”
            “Hati-hati Jang, salah-salah kau malah narik setan kayak si Asep,” bang Tigor berbisik pelan.
            Bulu kuduk Ujang mulai berdiri, mungkin udara malam itu terlalu dingin. Beberapa hari yang lalu memang santer terdengar kabar bahwa Asep, salah satu rekannya mendapatkan penumpang perempuan pukul sebelas malam. perempuan itu minta diturunkan di area pemakaman umum.
            “Bang, turun disini saja, Bang.” perempuan itu menepuk pundak Asep.
            “Ah si Eneng, masa disini Neng. Sini kan kuburan Neng!”
            “Gak papa bang, rumah saya deket sini kok.” Suara perempuan itu semakin lama semakin terdengar menjauh.
            “Disini mana ada rumah, Neng.. perkampungan masih satu kilometer dari sini.”
            Tak ada jawaban lagi dari penumpang perempuannya itu, bahkan Asep merasa sepeda motornya lebih ringan. Sudah hampir 15 menit Asep melewati jalan sepanjang area pemakaman umum itu, namun dia tak kunjung sampai ke perkampungan seberang.
            “Aneh, biasanya kan sepuluh menit udah sampai di kampung seberang ini kok nggak sampai-sampai, ya?” kata Asep di dalam hatinya.
            “Neng, Eneng ngerasa ada yang aneh gak? Kita kok disini-sini aja ya, Neng?”
            Suasana disekitar pemakaman itu terasa mencekam. Bulu kuduk Asep semakin merinding. Semilir angin membuat Asep semakin ketakutan, apalagi penumpangnya itu tak menjawab pertanyaannya.
            “Neng, kok diem aja, Neng?”
            Lagi-lagi tak ada jawaban. Akhirnya Asep menghentikan laju sepeda motornya. Asep menengok ke belakang dan perempuan itu sudah tidak ada disana. Dengan penuh ketakutan Asep kembali menyalakan sepeda motornya, dan betapa kagetnya dia saat menemukan perempuan tadi di salah satu makam korban kecelakaan motor tadi pagi. Mukanya bersimpah darah, lengan tanpa jari dan salah satu matanya keluar. Dia menatap Asep dengan senyuman seram. Asep lari terbirit-birit di tengah kepanikannya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut Asep dikabarkan mengurung diri di kamarnya.
            “Ah Bang, jangan nakut-nakutin dong!” protes mang Ujang.
            “Aku nggak nakut-nakutin Jang, tapi itu kenyataannya. Mending pulang ajalah, nunggu subuh aja!”
            “Iya Jang, apalagi sekarang malem jum’at kliwon” tambah Anto.
            “Bang, narik Bang?” seorang perempuan cantik berseragam pabrik mengagetkan mereka.
            “Eh Dek Erna, baru pulang dek?” tanya Bang Tigor.
            “Iya nih Bang, habis lembur”
            “Tarik, Jang!”
            “Lah, tak sekalian sama abang atau Anto saja? Kan searah, bang?”
            “Aku kasian sama kau, kau butuh uang tambahan untuk anak-anak kau, aku kan masih single, jadi untuk kau sajalah, iya kan, To?”
            “Iya Jang, kamu saja yang narik!”
            Mang Ujang menyalakan motornya.
            “Aku duluan ya, Jang.. antarkan Erna dengan selamat!” seru bang Tigor.
            “Akupun ikut pulanglah bang, sudah ngantuk ini mataku. Duluan ya, Jang!” Anto menyusul bang Tigor.
            Setelah mengantarkan Erna, mang Ujang kembali ke pangkalan ojeknya. Ternyata sudah ada seorang penumpang menunggunya disana, seorang lelaki tua lengkap dengan kain sarung kumalnya.
            “Mau kemana, pak?”
            “Nunggu anak saya pulang”
            “Anak bapak memangnya sedang pergi kemana?”
            “Ke rumah sakit, katanya pergi sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga” pak tua itu terlihat semakin sedih.
            “Anak bapak kerja disana?”
            Lelaki tua itu mengangguk perlahan.
            “Bang, ojek bang!” seorang lelaki muda menghentikan pembicaraan mang Ujang dengan lelaki tua itu.
            “Tadi ngobrol sama siapa, bang?”
            “Sama kakek-kakek, lagi nunggu anaknya pulang katanya” jawab mang Udin dengan santainya.
            “Lah, saya pikir abang sudah nggak waras!”
            “Memangnya saya nggak waras kenapa?”
            “Tadi saya lihat abang ngomong sendirian loh bang! Nggak ada siapa-siapa disana selain abang!”
            “Ah, aden ini bercanda saja.. jelas-jelas ada seorang kakek di samping saya kok”
            “Beneran ini bang, saya serius. Dibelokan depan saya turun ya, bang!”
            “Baik, den”
            Sepanjang perjalanan mang Ujang tak henti-hentinya memikirkan perkataan penumpangnya. Bagaimana tidak, penumpang itu tak melihat kehadiran sang kakek disampingnya.
            “Semoga penglihatan anak muda itu saja yang kabur sehingga tak melihat kakek tua itu”
            Mang Ujang tiba di pangkalan ojeknya lagi. Kakek tua masih berada disana.
            “Sebaiknya bapak pulang saja, tunggu anak bapak dirumah. Udara disini semakin dingin pak!”
            “Baiklah nak, tolong antarkan saya pulang”
***
            Kini hanya udara malam yang setia menemani mang Ujang di pangkalan ojek itu, berharap ada pegawai pabrik yang hendak pulang dan membutuhkan jasanya. Waktu terus bergulir dan menunjukkan pukul duabelas malam.
            Samar-samar mulai terdengar suara tangisan mendekati pangkalan ojek itu. Bulu kuduk mang Ujang mulai merinding. Seorang perempuan muda tengah berlari mendekatinya.
            “Kenapa, Neng?”
            “Tolong antarkan saya ke rumah, bang”
            “I..iya Neng” mang Ujang menyalakan motornya, antara bingung, ketakutan dan butuh uang tambahan.
            Perempuan itu tak henti-hentinya menangis sepanjang perjalanan pulang. Sebuah rumah dengan arsitektur kuno menjadi tempat pemberhentian ojek mang Ujang.
            “Disini, Neng?”
            “Ini kan rumah bapak tua tadi, berarti ini anak yang di tunggunya? Tapi kenapa ada bendera kuning di depan rumah ini, tadi kayaknya nggak ada deh”
            “Iya, bang.. ini uangnya”
            Mang Ujang masih sibuk menghitung kembalian untuk perempuan muda itu.
            “Ini Neng kembaliannya”
            “Loh.. kemana gadis tadi? Cepet banget masuk rumahnya”
            Mang Ujang turun dari sepeda motornya dan mendekati rumah tua itu. Terdengar do’a yang menggema dari dalam rumah itu. Mang Ujang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Beberapa menit kemudian seorang wanita paruh baya dengan mata sembab membukakan pintu untuknya.
            “Ada apa, pak? Kenapa bertamu malam-malam begini?”
            “Ini bu, saya mau ngasih uang kembalian. Tadi ada seorang gadis naik ojek saya sampai sini. Dia bilang rumahnya di sini” mang Ujang memberikan uang kembalian di tangannya.
            Ibu itu tersenyum tipis “Bapak bercanda, tidak mungkin anak saya naik ojek bapak!”
            “Saya tidak bercanda bu, malah setengah jam yang lalu saya mengantarkan seorang kakek ke rumah ini”
            “Ti-dak pak, tidak mungkin.. itu tidak mungkin” wanita paruh baya itu bergegas masuk ke dalam rumah.
            Mang Ujang yang bersikukuh akan mengembalikan uangpun mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Ada dua jenazah yang terbaring kaku di rumah itu, di sekelilingnya terdapat orang-orang yang tengah memanjatkan do’a. Wanita paruh baya itu bergerak mendekati kedua mayat tesebut dan mulai membuka kain yang menutupi wajah mayat itu. Mang Ujang terlihat kaget saat mengenali kedua wajah tersebut. Itu kakek tua serta gadis yang baru saja menaiki ojeknya.
            “Ini suami dan anak bungsu saya pak”
            “Mereka sudah meninggal, anak saya di bunuh di rumah sakit saat sedang bekerja”
            “dan suami saya meninggal saat menunggu ambulance yang membawa anak saya pulang tadi sore” wanita itu mulai terisak.
            “Tapi, bu… tadi…”
            “Anggap saja itu rezeki lebih untuk bapak, ini.. uang pengganti ongkos suami dan anak saya” wanita itu mendekati mang Ujang dan memberikan selembar uang limapuluh ribu rupiah di teras depan rumahnya.
            “Ini kebanyakan, bu.. ongkosnya hanya sepuluh ribu saja”
            “Anggap saja itu pengganti ketakutan bapak. Saya mohon jangan ceritakan ini kepada oranglain. Anggap saja suami dan anak saya tidak pernah meminta bapak mengantarkannya ke rumah”
            Sepanjang perjalanan menuju pangkalan ojek, mang Ujang terlihat melamun. Dia masih shock atas kejadian yang menimpanya beberapa waktu yang lalu. Bagaimana bisa di membonceng orang yang jelas-jelas sudah meninggal tadi sore. Ada ketakutan besar yang bersarang di pikirannya. Ini pertamakalinya mang Ujang mengalami kejadian seperti ini secara beruntun. Bertahun-tahun sudah dia berprofesi sebagai tukang ojek dan bekerja sampai larut malam, tapi tak pernah mengalami suatu kejadian yang aneh.
            “Bang, ojek bang!” seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
            Mang Ujang terlonjak kaget dan jatuh dari tempat duduknya. Dia belum berani menatap orang yang menepuk pundaknya, dia takut itu bukan manusia, melainkan makhluk halus yang hendak menaiki ojeknya lagi.
            “Mang Ujang.. ini Marni!”
            Perlahan mang Ujang mulai menoleh ke belakang.
            “Eh Marni, kirain siapa”
            “Ngojek kan, mang?”
            Mang Ujang mengangguk ragu, berharap itu benar-benar Marni dan bukan Marni jadi-jadian.
            “Mang Ujang kok kayak orang yang ketakutan sih?”
            “Ng-ng-nggak kok Mar”
            Sepeda motor yang di kendarai oleh mang Ujang mulai memasuki jalan yang berada di tengah-tengah area pemakaman umum. Ada perasaan was-was yang menggelayuti pikiran mang Ujang. Dia teringat akan cerita bang Tigor tentang Asep. Suara burung hantu terdengar bersahutan, belum lagi ada sejumlah kelelawar yang beterbangan di sekitar sana. Ada bebauan aneh yang melewati hidungnya dan membuat mang Ujang semakin bergidik ngeri. Sesekali dia melihat kaca spion untuk memastikan bahwa penumpangnya kali ini benar-benar manusia.
            “Mang, cepetan dong.. Marni takut nih!” Marni memegang pinggang mang Ujang kuat-kuat.
            Mang Ujang menambah kecepatan motornya dan beberapa menit kemudian mereka tiba di depan rumah Marni.
            “Ini mang, makasih banyak ya!”
            “Kembaliannya, Mar?”
            “Nggak usah mang, anggap saja itu rasa terimakasih Marni, soalnya Marni bersyukur masih ada mang Ujang yang nganterin Marni pulang dini hari begini”
            “Makasih ya, Mar!”
            “Iya mang, hati-hati di jalan”
            Sekitar 50 meter arah berlawanan dari rumah Marni, ada seorang ibu hamil yang menghentikan laju sepeda motor mang Ujang.
            “Narik, bang?” tanyanya sambil tersenyum.
            “Eneng mau kemana malam-malam begini?”
            “Ke pasar, bang”
            “Ayo Neng, silahkan naik”
            Tidak ada kecurigaan apapun dari mang Ujang kepada ibu itu. Semuanya terlihat normal, keranjang belanjaan. Baju hamil yang menjuntai hingga tanah dan rambut yang tertata rapi.
             “Berhenti di sini bang, perut saya mulai sakit”
            “Tapi ini kan area pemakaman umum, Neng!” mang Ujang terlihat ragu.
            “Gak papa bang, saya udah nggak tahan nih!”
            Mang Ujang membantu wanita itu turun dari ojeknya. Sepertinya wanita itu hendak melahirkan. Benar saja, wanita itu benar-benar melahirkan. Akan tetapi bayi yang dilahirkannya tidak menangis, mungkin bayinya sudah meninggal.
            “Ambil ini bang, lekas pergi dari sini” pinta wanita itu sambil menyerahkan selembar uang sepuluh ribu.
            Mang Ujang menerimanya “Saya antarkan Neng pulang ke rumah saja ya kalau begitu?”
            “Tidak usah bang, biarkan saya disini saja bersama anak saya”
            “Tapi, Neng?”
            “Pergilah bang dan jangan pernah menengok ke belakang”
            Dengan berat hati mang Ujang menuruti permintaan wanita itu. Dia bergegas kembali ke pangkalan ojeknya. Dia tak habis pikir mengapa wanita itu berani berada di area pemakam sendirian bersama bayi yang kemungkinan besar sudah meninggal. Subuhpun tiba, terdengar adzan berkumandang dari surau-surau di sekitar pangkalan ojek. Mang Ujang mengeluarkan seluruh penghasilannya malam tadi. Ada selembar daun kering diantara lembaran uangnya.
            Terdengar suara sirine ambulance yang melintasi pangkalan ojeknya. Mang Ujang keluar dan menanyakannya kepada seorang ustad yang hendak pergi ke masjid.
            “Siapa yang meninggal, pak ustad?”
            “Itu, dari kampung seberang dekat rumahnya Marni. Ibu hamil dan anak yang baru di lahirkannya tadi malam”
            Itu artinya, ibu hamil yang di bocengnya tadi malam bukan manusia, melainkan roh orang yang baru meninggal. Meskipun tadi malam mang Ujang mengalami banyak kejadian aneh serta mendapatkan para penumpang Gaib, tapi mang Ujang tak pernah kapok untuk siaga 24 jam sebagai tukang ojek. Kehidupan memaksanya untuk tetap tangguh meskipun mendapatkan gangguan dari berbagai makhluk halus.