Yang Kelak Menemaniku Menua – Surat

No Comments

Photo of author

By Gemaulani

Kepada : Calon imamku di masa depan. Yang kelak menemaniku Menua Bersama.

Hai, apa kabar? Semoga kau baik-baik saja di manapun berada. Semoga kau sedang berjuang untukku, untuk dapat menemukanku. Oh tidak, kuharap kita saling menemukan satu sama lain. Semoga kau bisa menjadi imamku di masa depan. Semoga kau pun menyiapkan hati yang lapang agar kelak menerima segala kekurangan dan kelebihan yang kumiliki. Semoga kau mampu memaafkan semua hal yang telah kuperbuat di masa lalu.
Yang Kelak Menemaniku Menua di Sisa Hidupku

Bagaimana sosokmu aku belum tahu, apalagi namamu, asalmu dan segala tentangmu. Yang kutahu jika kita ditakdirkan bersama, Tuhan pasti akan mempertemukan kita dengan cara yang indah atau mungkin tak biasa di waktu yang telah ditentukan.

Perlu kau ketahui,  aku memiliki banyak kekurangan dan masih terus berusaha memperbaiki. Saat ini aku sedang berusaha memantaskan diri agar kelak saat bertemu denganmu aku percaya diri.
Ya, aku ingin saat kita bertemu … aku mampu meyakinkanmu bahwa aku pantas menjadi pendampingmu, ibu untuk anak-anakmu, anak-anak kita.
Kelak … Bersamamu aku percaya, bahwa hal sekecil apa pun bisa diubah menjadi kebahagiaan. Denganmu aku percaya rintangan sesulit apa pun akan kita hadapi bersama. Denganmu aku percaya bahwa kita akan selalu bersama dan menjunjung tinggi kesetiaan. Semoga kau pun percaya jika kelak bersamaku kau akan bahagia.
Aku ingin kita bisa saling mengasihi tanpa memunculkan rasa terkurung apalagi terkekang. Walaupun bersama, kita harus tetap memiliki jarak untuk diri kita sendiri.

Kepadamu calon imamku di masa depan, yang akan mengenggam tanganku erat, yang takkan terlepas lagi dari pandangan maupun genggaman. Yang akan saling menguatkan dalam menjalani kehidupan. Yang akan membimbingku agar lebih taat lagi kepada Tuhan. Aku tidak akan jatuh cinta padamu, begitupun kau … aku tak berharap kau jatuh cinta kepadaku. Karena aku tidak ingin merasakan sakit. Yang ku ingin kita membangun cinta, memulainya dengan membuat pondasi-pondasi yang kuat layaknya sebuah kontruksi bangunan. Agar kelak mampu bertahan sekalipun badai menerjang tanpa peringatan.
Harus kuakui, tentunya kau bukanlah cinta pertamaku, bukan pula yang kedua. Namun kuharap kaulah cinta yang terakhir, yang akan menemaniku menua hingga tak lagi bernyawa.

Yang ingin  menua bersamamu,

Gilang.

Leave a Comment