Ojek Mang Ujang, Cerpen

          Masih seperti hari-hari sebelumnya, mang Ujang selalu siap 24 jam mengantarkan penumpang ojeknya sampai ke tempat tujuan. Udara dingin, udara panas dan hujan sekalipun tak pernah menghentikannya untuk mencari nafkah. Semua itu dilakukannya demi keluarga tercinta. Tak pernah ada keluh kesah yang keluar dari mulut mang Ujang. Semenjak dua orang anaknya masuk SMA dan satu lagi masuk perguruan tinggi, mang Ujang harus bekerja lebih giat lagi.
            “Jang, belum pulang kau? Sudah jam sebelas malam ini! aku duluan ya.. ngantuk.. lagipula tak ada penumpang malam-malam begini.” Bang Tigor pamit pulang kepada mang Ujang.
            “Aku lembur saja bang, siapa tahu ada pegawai pabrik yang hendak pulang, kan lumayan buat tambah-tambah.”
            “Hati-hati Jang, salah-salah kau malah narik setan kayak si Asep,” bang Tigor berbisik pelan.
            Bulu kuduk Ujang mulai berdiri, mungkin udara malam itu terlalu dingin. Beberapa hari yang lalu memang santer terdengar kabar bahwa Asep, salah satu rekannya mendapatkan penumpang perempuan pukul sebelas malam. perempuan itu minta diturunkan di area pemakaman umum.
            “Bang, turun disini saja, Bang.” perempuan itu menepuk pundak Asep.
            “Ah si Eneng, masa disini Neng. Sini kan kuburan Neng!”
            “Gak papa bang, rumah saya deket sini kok.” Suara perempuan itu semakin lama semakin terdengar menjauh.
            “Disini mana ada rumah, Neng.. perkampungan masih satu kilometer dari sini.”
            Tak ada jawaban lagi dari penumpang perempuannya itu, bahkan Asep merasa sepeda motornya lebih ringan. Sudah hampir 15 menit Asep melewati jalan sepanjang area pemakaman umum itu, namun dia tak kunjung sampai ke perkampungan seberang.
            “Aneh, biasanya kan sepuluh menit udah sampai di kampung seberang ini kok nggak sampai-sampai, ya?” kata Asep di dalam hatinya.
            “Neng, Eneng ngerasa ada yang aneh gak? Kita kok disini-sini aja ya, Neng?”
            Suasana disekitar pemakaman itu terasa mencekam. Bulu kuduk Asep semakin merinding. Semilir angin membuat Asep semakin ketakutan, apalagi penumpangnya itu tak menjawab pertanyaannya.
            “Neng, kok diem aja, Neng?”
            Lagi-lagi tak ada jawaban. Akhirnya Asep menghentikan laju sepeda motornya. Asep menengok ke belakang dan perempuan itu sudah tidak ada disana. Dengan penuh ketakutan Asep kembali menyalakan sepeda motornya, dan betapa kagetnya dia saat menemukan perempuan tadi di salah satu makam korban kecelakaan motor tadi pagi. Mukanya bersimpah darah, lengan tanpa jari dan salah satu matanya keluar. Dia menatap Asep dengan senyuman seram. Asep lari terbirit-birit di tengah kepanikannya. Beberapa hari setelah kejadian tersebut Asep dikabarkan mengurung diri di kamarnya.
            “Ah Bang, jangan nakut-nakutin dong!” protes mang Ujang.
            “Aku nggak nakut-nakutin Jang, tapi itu kenyataannya. Mending pulang ajalah, nunggu subuh aja!”
            “Iya Jang, apalagi sekarang malem jum’at kliwon” tambah Anto.
            “Bang, narik Bang?” seorang perempuan cantik berseragam pabrik mengagetkan mereka.
            “Eh Dek Erna, baru pulang dek?” tanya Bang Tigor.
            “Iya nih Bang, habis lembur”
            “Tarik, Jang!”
            “Lah, tak sekalian sama abang atau Anto saja? Kan searah, bang?”
            “Aku kasian sama kau, kau butuh uang tambahan untuk anak-anak kau, aku kan masih single, jadi untuk kau sajalah, iya kan, To?”
            “Iya Jang, kamu saja yang narik!”
            Mang Ujang menyalakan motornya.
            “Aku duluan ya, Jang.. antarkan Erna dengan selamat!” seru bang Tigor.
            “Akupun ikut pulanglah bang, sudah ngantuk ini mataku. Duluan ya, Jang!” Anto menyusul bang Tigor.
            Setelah mengantarkan Erna, mang Ujang kembali ke pangkalan ojeknya. Ternyata sudah ada seorang penumpang menunggunya disana, seorang lelaki tua lengkap dengan kain sarung kumalnya.
            “Mau kemana, pak?”
            “Nunggu anak saya pulang”
            “Anak bapak memangnya sedang pergi kemana?”
            “Ke rumah sakit, katanya pergi sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga” pak tua itu terlihat semakin sedih.
            “Anak bapak kerja disana?”
            Lelaki tua itu mengangguk perlahan.
            “Bang, ojek bang!” seorang lelaki muda menghentikan pembicaraan mang Ujang dengan lelaki tua itu.
            “Tadi ngobrol sama siapa, bang?”
            “Sama kakek-kakek, lagi nunggu anaknya pulang katanya” jawab mang Udin dengan santainya.
            “Lah, saya pikir abang sudah nggak waras!”
            “Memangnya saya nggak waras kenapa?”
            “Tadi saya lihat abang ngomong sendirian loh bang! Nggak ada siapa-siapa disana selain abang!”
            “Ah, aden ini bercanda saja.. jelas-jelas ada seorang kakek di samping saya kok”
            “Beneran ini bang, saya serius. Dibelokan depan saya turun ya, bang!”
            “Baik, den”
            Sepanjang perjalanan mang Ujang tak henti-hentinya memikirkan perkataan penumpangnya. Bagaimana tidak, penumpang itu tak melihat kehadiran sang kakek disampingnya.
            “Semoga penglihatan anak muda itu saja yang kabur sehingga tak melihat kakek tua itu”
            Mang Ujang tiba di pangkalan ojeknya lagi. Kakek tua masih berada disana.
            “Sebaiknya bapak pulang saja, tunggu anak bapak dirumah. Udara disini semakin dingin pak!”
            “Baiklah nak, tolong antarkan saya pulang”
***
            Kini hanya udara malam yang setia menemani mang Ujang di pangkalan ojek itu, berharap ada pegawai pabrik yang hendak pulang dan membutuhkan jasanya. Waktu terus bergulir dan menunjukkan pukul duabelas malam.
            Samar-samar mulai terdengar suara tangisan mendekati pangkalan ojek itu. Bulu kuduk mang Ujang mulai merinding. Seorang perempuan muda tengah berlari mendekatinya.
            “Kenapa, Neng?”
            “Tolong antarkan saya ke rumah, bang”
            “I..iya Neng” mang Ujang menyalakan motornya, antara bingung, ketakutan dan butuh uang tambahan.
            Perempuan itu tak henti-hentinya menangis sepanjang perjalanan pulang. Sebuah rumah dengan arsitektur kuno menjadi tempat pemberhentian ojek mang Ujang.
            “Disini, Neng?”
            “Ini kan rumah bapak tua tadi, berarti ini anak yang di tunggunya? Tapi kenapa ada bendera kuning di depan rumah ini, tadi kayaknya nggak ada deh”
            “Iya, bang.. ini uangnya”
            Mang Ujang masih sibuk menghitung kembalian untuk perempuan muda itu.
            “Ini Neng kembaliannya”
            “Loh.. kemana gadis tadi? Cepet banget masuk rumahnya”
            Mang Ujang turun dari sepeda motornya dan mendekati rumah tua itu. Terdengar do’a yang menggema dari dalam rumah itu. Mang Ujang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Beberapa menit kemudian seorang wanita paruh baya dengan mata sembab membukakan pintu untuknya.
            “Ada apa, pak? Kenapa bertamu malam-malam begini?”
            “Ini bu, saya mau ngasih uang kembalian. Tadi ada seorang gadis naik ojek saya sampai sini. Dia bilang rumahnya di sini” mang Ujang memberikan uang kembalian di tangannya.
            Ibu itu tersenyum tipis “Bapak bercanda, tidak mungkin anak saya naik ojek bapak!”
            “Saya tidak bercanda bu, malah setengah jam yang lalu saya mengantarkan seorang kakek ke rumah ini”
            “Ti-dak pak, tidak mungkin.. itu tidak mungkin” wanita paruh baya itu bergegas masuk ke dalam rumah.
            Mang Ujang yang bersikukuh akan mengembalikan uangpun mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Ada dua jenazah yang terbaring kaku di rumah itu, di sekelilingnya terdapat orang-orang yang tengah memanjatkan do’a. Wanita paruh baya itu bergerak mendekati kedua mayat tesebut dan mulai membuka kain yang menutupi wajah mayat itu. Mang Ujang terlihat kaget saat mengenali kedua wajah tersebut. Itu kakek tua serta gadis yang baru saja menaiki ojeknya.
            “Ini suami dan anak bungsu saya pak”
            “Mereka sudah meninggal, anak saya di bunuh di rumah sakit saat sedang bekerja”
            “dan suami saya meninggal saat menunggu ambulance yang membawa anak saya pulang tadi sore” wanita itu mulai terisak.
            “Tapi, bu… tadi…”
            “Anggap saja itu rezeki lebih untuk bapak, ini.. uang pengganti ongkos suami dan anak saya” wanita itu mendekati mang Ujang dan memberikan selembar uang limapuluh ribu rupiah di teras depan rumahnya.
            “Ini kebanyakan, bu.. ongkosnya hanya sepuluh ribu saja”
            “Anggap saja itu pengganti ketakutan bapak. Saya mohon jangan ceritakan ini kepada oranglain. Anggap saja suami dan anak saya tidak pernah meminta bapak mengantarkannya ke rumah”
            Sepanjang perjalanan menuju pangkalan ojek, mang Ujang terlihat melamun. Dia masih shock atas kejadian yang menimpanya beberapa waktu yang lalu. Bagaimana bisa di membonceng orang yang jelas-jelas sudah meninggal tadi sore. Ada ketakutan besar yang bersarang di pikirannya. Ini pertamakalinya mang Ujang mengalami kejadian seperti ini secara beruntun. Bertahun-tahun sudah dia berprofesi sebagai tukang ojek dan bekerja sampai larut malam, tapi tak pernah mengalami suatu kejadian yang aneh.
            “Bang, ojek bang!” seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
            Mang Ujang terlonjak kaget dan jatuh dari tempat duduknya. Dia belum berani menatap orang yang menepuk pundaknya, dia takut itu bukan manusia, melainkan makhluk halus yang hendak menaiki ojeknya lagi.
            “Mang Ujang.. ini Marni!”
            Perlahan mang Ujang mulai menoleh ke belakang.
            “Eh Marni, kirain siapa”
            “Ngojek kan, mang?”
            Mang Ujang mengangguk ragu, berharap itu benar-benar Marni dan bukan Marni jadi-jadian.
            “Mang Ujang kok kayak orang yang ketakutan sih?”
            “Ng-ng-nggak kok Mar”
            Sepeda motor yang di kendarai oleh mang Ujang mulai memasuki jalan yang berada di tengah-tengah area pemakaman umum. Ada perasaan was-was yang menggelayuti pikiran mang Ujang. Dia teringat akan cerita bang Tigor tentang Asep. Suara burung hantu terdengar bersahutan, belum lagi ada sejumlah kelelawar yang beterbangan di sekitar sana. Ada bebauan aneh yang melewati hidungnya dan membuat mang Ujang semakin bergidik ngeri. Sesekali dia melihat kaca spion untuk memastikan bahwa penumpangnya kali ini benar-benar manusia.
            “Mang, cepetan dong.. Marni takut nih!” Marni memegang pinggang mang Ujang kuat-kuat.
            Mang Ujang menambah kecepatan motornya dan beberapa menit kemudian mereka tiba di depan rumah Marni.
            “Ini mang, makasih banyak ya!”
            “Kembaliannya, Mar?”
            “Nggak usah mang, anggap saja itu rasa terimakasih Marni, soalnya Marni bersyukur masih ada mang Ujang yang nganterin Marni pulang dini hari begini”
            “Makasih ya, Mar!”
            “Iya mang, hati-hati di jalan”
            Sekitar 50 meter arah berlawanan dari rumah Marni, ada seorang ibu hamil yang menghentikan laju sepeda motor mang Ujang.
            “Narik, bang?” tanyanya sambil tersenyum.
            “Eneng mau kemana malam-malam begini?”
            “Ke pasar, bang”
            “Ayo Neng, silahkan naik”
            Tidak ada kecurigaan apapun dari mang Ujang kepada ibu itu. Semuanya terlihat normal, keranjang belanjaan. Baju hamil yang menjuntai hingga tanah dan rambut yang tertata rapi.
             “Berhenti di sini bang, perut saya mulai sakit”
            “Tapi ini kan area pemakaman umum, Neng!” mang Ujang terlihat ragu.
            “Gak papa bang, saya udah nggak tahan nih!”
            Mang Ujang membantu wanita itu turun dari ojeknya. Sepertinya wanita itu hendak melahirkan. Benar saja, wanita itu benar-benar melahirkan. Akan tetapi bayi yang dilahirkannya tidak menangis, mungkin bayinya sudah meninggal.
            “Ambil ini bang, lekas pergi dari sini” pinta wanita itu sambil menyerahkan selembar uang sepuluh ribu.
            Mang Ujang menerimanya “Saya antarkan Neng pulang ke rumah saja ya kalau begitu?”
            “Tidak usah bang, biarkan saya disini saja bersama anak saya”
            “Tapi, Neng?”
            “Pergilah bang dan jangan pernah menengok ke belakang”
            Dengan berat hati mang Ujang menuruti permintaan wanita itu. Dia bergegas kembali ke pangkalan ojeknya. Dia tak habis pikir mengapa wanita itu berani berada di area pemakam sendirian bersama bayi yang kemungkinan besar sudah meninggal. Subuhpun tiba, terdengar adzan berkumandang dari surau-surau di sekitar pangkalan ojek. Mang Ujang mengeluarkan seluruh penghasilannya malam tadi. Ada selembar daun kering diantara lembaran uangnya.
            Terdengar suara sirine ambulance yang melintasi pangkalan ojeknya. Mang Ujang keluar dan menanyakannya kepada seorang ustad yang hendak pergi ke masjid.
            “Siapa yang meninggal, pak ustad?”
            “Itu, dari kampung seberang dekat rumahnya Marni. Ibu hamil dan anak yang baru di lahirkannya tadi malam”
            Itu artinya, ibu hamil yang di bocengnya tadi malam bukan manusia, melainkan roh orang yang baru meninggal. Meskipun tadi malam mang Ujang mengalami banyak kejadian aneh serta mendapatkan para penumpang Gaib, tapi mang Ujang tak pernah kapok untuk siaga 24 jam sebagai tukang ojek. Kehidupan memaksanya untuk tetap tangguh meskipun mendapatkan gangguan dari berbagai makhluk halus.

Add Comments

Tinggalkan komentar ya, supaya aku bisa mengujungi situs milikmu. Diharapkan jangan menyimpan link hidup di kolom komentar karena otomatis akan dihapus. Terima kasih :)
EmoticonEmoticon