Di antara Kalian, Bukan Lagu

By Gemaulani

        Aku
sudah siap untuk patah hati, karena sejak awal aku tahu … bukan aku yang
diharapakannya. Bukan aku yang dicintainya, dan bukan namaku yang tersimpan di
hati dan pikirannya. Aku hanya ingin mencoba menyelami hatinya, hidupnya dan
berada di sampingnya sebentar saja. Aku ingin dia tahu, bahwa dia pernah ada di
hatiku, di pikiranku, di hembusan nafasku dan di setiap derap langkahku. Hingga
akhirnya aku menyerah dan membiarkannya mengejar cinta yang dia inginkan.
//Lupakan
aku, kembali padanya
Aku
bukan siapa-siapa untukmu
Kucintaimu
tak berarti bahwa,
Ku
harus memilikimu slamanya// D’Massiv – Diantara Kalian
            Lagu itu mungkin cocok untuk menggambarkan
kisah cintaku bersama Radit, kisah cinta yang tak berakhir bahagia. Cinta yang
membuatku sadar, bahwa hati seseorang tak dapat dipaksakan. Sekali pun dia berkata
“Aku juga sayang kamu” itu hanya diungkapkannya melalui bibir, tapi tidak
dengan hatinya.
***
Pagi ini dengan semangat yang
mengebu-gebu di dalam kelas, dia memainkan gitar kesayangannya. Dia
mendendangkan sebuah lagu cinta bersama teman-temannya. Menunggu sang bidadari
datang, tentu saja itu bukan aku. Siang itu, tiba-tiba saja aku ingin
melihatnya bermain futsal. Lagi-lagi aku terpana olehnya, kulihat kedua kaki
itu sangat lincah menggiring si kulit bundar. Menyaksikannya bertanding futsal
dengan kelas lain di SMA kami, membuatku semakin menyukainya.
“Wah, sekarang kamu jadi rajin nonton
kelas kita tanding ya, An?” Radit menghampiriku dengan keringat yang masih
bercucuran.
Ingin sekali aku membasuh keringatnya
dengan tissue ditanganku, tapi aku sadar aku bukan siapa-siapa.
“Nih, buat kamu,” akhirnya aku
memberikan tissue serta sebotol air mineral untuknya.
“Makasih ya.”
Semakin lama, perasaanku kepadanya
semakin dalam. Sebagai seorang perempuan, aku berusaha keras meruntuhkan tembok
gengsiku. Aku tak bisa menunggu lama lagi. Aku terus menerus berdiam diri. Menunggunya
menyatakan cinta padaku, adalah hal yang tidak akan mungkin terjadi. Akhirnya,
aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaanku ini padanya melalui pesan
singkat. Ini pertama kalinya aku menyatakan perasaanku terlebih dahulu kepada
seorang lelaki.
“Aku suka sama kamu, Dit”.
Cukup lama Radit membalas pesanku,
membuat jantungku berdebar tak menentu. “Ana … kamu yakin suka sama aku?”.
“Iya Dit, aku suka sama kamu.”
Pahit dan sakit menusuki seluruh
tulangku, sejak saat itu Radit tak lagi membalas pesan singkatku. Tak ada lagi
sms Radit yang menemaniku begadang setiap kali aku tak bisa tidur. Kini aku
kehilangan keberanian untuk menyapa Radit, bahkan Radit terlihat menghindar
setiap kali kami berpapasan di depan pintu kelas 11 IPA 1. Aku merasa
kehilangan Radit, sejak saat itu aku tak pernah menontonnya bermain futsal
lagi. Sampai suatu hari aku kembali ke tempat kost Reza beserta teman-teman
yang lain.
“Ada yang mau request lagu, ngga?” tanya
Fahri.
“Cinta ini membunuhku,” jawab Lita
“Eh, menghapus jejakmu deh kalau Radit
yang main gitarnya” Lita meralat jawabannya sambil tersenyum kepadaku.
Lirik lagu itu pernah kukirimkan melalui
pesan singkat kepada Radit. Lagu yang mewakili perasaanku dan menerangkan bahwa
aku akan menghapus semua tentangnya. Aku akan mengubur perasaan itu
dalam-dalam. Meski hingga detik ini aku masih berharap jika Radit akan membalas
perasaanku.
“Fahri aja deh yang maen gitarnya,”
Radit memberikan gitar ditangannya kepada Fahri.
“Aku yang nyanyi deh buat seseorang”
tambahnya.
***
“Aku juga suka kok sama kamu, kamu mau
jadi pacar aku? Jangan kirim menghapus jejakmu lagi, ya
J
Pesan singkat dari nomor Radit tentu
saja membuatku shock. Rasanya seperti
mimpi, tapi tentu saja bukan mimpi. Itu kenyataan, akhirnya aku dan Radit
berpacaran secara diam-diam. Sampai akhirnya semua terbongkar ketika kami
melakukan study tour ke Bandung. Aku bahagia bisa bersama Radit meskipun dia
tidak perhatian seperti mantan-mantan pacarku sebelumnya.
“Dit, pinjem hape dong”
“Buat apa?”
“Buat foto”
“Bener ya? Jangan buka-buka yang lain
loh.. soalnya ini hape kakakku. Nggak tahu deh ada apa aja di dalemnya”
Saat itulah aku tahu, aku tak pernah ada
dihatinya bahkan dipikirannya. Hanya foto Windi yang selalu tersimpan di memori
handphonenya. Hanya sms dari Windi yang selalu dia simpan. Bahkan, dia lebih
sering berkirim pesan dengan Windi daripada denganku. Waktu terasa terhenti
begitu saja, aku belum siap untuk mengetahui semua ini. Jujur saja aku belum
siap untuk berpisah dengan Radit. Meskipun aku sudah mengetahuinya perasaanya
dari awal.
“Ciee Windi.”
“Apaan sih, An? sms kok malah ciee
Windi?”
“Gak papa kok, pengen aja” *emot senyum
padahal hati terasa di cincang.
Semakin lama hubunganku dengan Radit
terasa semakin hambar. Dia tidak akan menghubungiku jika bukan aku yang
menghubunginya terlebih dahulu. Aku mulai lelah dengan semua ini. Aku sakit
ketika melihat Radit tersenyum tulus kepada Windi. Aku sakit karna bukan fotoku
yang ada di handphonenya. Aku lebih sakit lagi karena aku tahu cintaku ini tak
pernah terbalas oleh Radit. Dia memang kekasihku, tapi tak ada namaku
dihatinya. Aku bersamanya, tapi dia tak menganggapku ada.
***
Hari itu aku membuat sebuah keputusan,
keputusan terberat di dalam kehidupanku.
“Aku rasa hubungan kita nggak mungkin di
lanjutin lagi, Dit”
“Kenapa? Ada apa?”
“Aku rasa kita udah nggak cocok”
“Yakin? Nggak mau kamu pikirin lagi?”
“Iya, aku yakin. Maafin aku ya, Dit”
Aku tak ingin memaksa Radit untuk lebih
lama lagi bersamaku. Itu akan menyakiti perasaannya dan juga perasaanku. Aku
melepaskannya, melepaskan yang belum sepenuhnya aku relakan. Aku membiarkan
Radit pergi untuk memperjuangkan cintanya pada Windi. Itu akan jauh lebih baik
daripada aku terus bersamanya dan berharap dia akan mencintaiku. Untuk apa aku
terus bersamanya, jika dia tak menginginkan kehadiranku.
“Nonton futsal yuk An, anak-anak tanding
nih lawan 11 IPS 3,” ajak Lita
Hari itu aku melihatnya, melihat Radit
duduk berdampingan dengan Windi dipinggir lapangan. Mereka tertawa bersama
penuh kebahagiaan. Tawa Radit begitu lepas, berbeda saat dia bersamaku. Baik
dulu ataupun sekarang aku memang tak pernah bisa menghapus keringatnya yang
bercucuran, bahkan aku tak bisa memberikannya minuman lagi.
“Ciee Radit, kalau ada Windi berarti
harus semangat ya mainnya” goda Dennis.
“Iya tuh, harus menang loh!” tambah
Asti.
Radit dan Windi hanya tersenyum
malu-malu.
Sementara itu, aku menyaksikan kemesraan
mereka dari kursi penonton paling belakang.
“Sabar ya, An” Firda berusaha
menyemangatiku.
Aku hanya tersenyum, pahit memang tapi
akan lebih pahit jika dulu aku tak mengakhiri semuanya dengan Radit.

Leave a Comment