12 Apr 2015

Proyek Berhadiah, Cerpen

 Proyek Berhadiah

Lautan lepas, langit biru yang membentang luas, dan semilir angin seolah mengucapkan kata selamat datang padanya. Rasa penat yang menggerogoti seluruh tulang di tubuhnya telah hilang, tak berbekas. Tere menghempaskan tubuhnya di atas pasir putih nan lembut. Gadis berjilbab asal Bandung yang jika dilihat sekilas mirip artis Giselle Anatasya ini baru saja menyelesaikan tugas liputannya bersama Leni pada salah satu penerbit di Sumenep, Madura.

Mereka menerima tawaran anak perempuan dari pemilik penerbitan itu untuk memanjakan diri sejenak dengan menikmati pemandangan laut yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari pusat kota Sumenep.


“Indah banget pantainya,” Tere meremas sedikit pasir dengan tangannya, kemudian melepaskannya ke dalam air laut.


Air laut yang jernih dan tenang serta pohon cemara udang yang berjejer mengelilingi pantai ini membuat Tere semakin terpesona. Pantai Lompang telah mengobati kerinduannya akan pemandangan lautan lepas. Pantai yang tak kalah indah dengan pantai Kuta di Bali, pantai yang terakhir dikunjunginya dua tahun lalu.


“Coba aja di Bandung ada pantai, ya?” goda Leni, gadis berjilbab hitam dengan tingginya yang mencapai 170 sentimeter itu sudah dianggap seperti kakaknya sendiri oleh Tere.
“Iya. Aku jadi nggak mau pulang ke Bandung, di sana nggak ada pantai!” ucapnya lirih.
“Kalau kita nggak pulang, mbak Dian bisa marah besar, senin subuh kita harus udah nyampe Bandung!” Leni tersenyum, memandang Tere yang enggan meninggalkan semua keindahan alam di depan mereka.


Senja telah menjelang, Tere harus merelakan keindahan pantai Lompang dan kesempatan untuk melihat matahari tenggelam di seberang lautan. Travel yang mereka pesan sudah tiba di rumah penerbit. Minggu malam, Dia harus segera kembali menuju kota Kembang, kota yang semakin mirip dengan Jakarta. Penuh kesibukkan dan kemacetan hampir di setiap sudutnya.


“Coba kita bisa lebih lama ya di Madura,” Tere menghela nafas panjang, Travel yang mereka tumpangi sedang melaju di atas jembatan Suramadu.
“Namanya juga bonus dari pekerjaan kita, Re! mana bisa lama-lama.” Leni menyikut tangannya, pelan. Menyadarkan Tere bahwa perjalanan ini bukan sebuah liburan. Perjalanan ini murni untuk urusan pekerjaan.


Baca Juga : Benci Jadi Cinta, Cerpen Bagian 1
***

Secangkir kopi, sepotong kue tiramisu, dan beberapa permen mint diletakkan di samping komputer. Jemarinya masih sibuk menari di atas keyboard, menyusun barisan program untuk menyelesaikan sistem informasi yang di pesan oleh salah satu majalah terkenal asal Bandung. Hakim, lelaki berwajah tirus lengkap dengan tingginya yang mencapai seratus delapan puluh sentimeter ini resmi bergabung menjadi junior programmer di Kalong Corporation Bandung sejak tahun dua ribu tiga belas lalu. Pekerjaan ini menuntutnya untuk sering terjaga di malam hari.

“Hakim?” Ivan, Direktur IT Konsultan dari Kalong Corporation memanggilnya cukup keras.
Hakim menoleh, “Ada apa, Pak?”
“Sudah sampai mana aplikasi yang kamu buat itu?” Dia mulai menggerakan mouse dan mencoba halaman-halaman yang dibuat oleh Hakim.
“Delapan puluh sembilan persen Pak, bagian pemesanan dan kotak komentar yang langsung terhubung ke e-mail yang belum selesai!”


Ivan mengangguk, dia memperhatikan Hakim yang sibuk menunjukkan halaman-halaman aplikasi yang belum selesai dibuat. Masih terlihat tulisan error di beberapa bagian.


“Perlu waktu berapa lama untuk menyelesaikan semuanya?” Ivan menatapnya, tajam.


Hakim melirik jam dinding yang posisinya tepat di belakang tubuh Ivan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan semua ruangan sudah nampak gelap, kecuali ruangan software developer yang ditempatinya.


“Atau kamu perlu bantuan seseorang?”


Sejenak dia memejamkan mata, mencoba menambah kekuatan dan rasa percaya dirinya. “Saya perlu waktu dua jam, Pak. Saya pastikan semuanya selesai malam ini!” ucapnya mantap.


“Ok, kalau ada apa-apa saya ada diruangan!” tunjuknya pada sebuah pintu yang terbuat dari kaca.
“Baik, Pak!”


Hakim memasang earphone dan mulai memutar beberapa lagu pop baik dalam maupun luar negeri untuk menemaninya agar tetap terjaga dan merasa rileks saat bekerja. Adit, pria brewokan, berkumis tipis dengan tinggi badan yang mencapai seratus delapan puluh sentimeter itu baru saja menyelesaikan pemasangan komputer dan jaringan LAN di ruangan Ivan. Dia tersenyum saat melihat Hakim masih asik di tempat duduknya. Adit melangkahkan kakinya secara perlahan, dia berencana untuk membuat Hakim ketakutan.


cerpen proyek berhadiah
sumber gambar : pixabay

Adit menggulung kertas A4 yang ada di meja kerja Sopian, dia menepuk bahu Hakim sebanyak tiga kali dengan kertas itu. Hakim bergeming, jemarinya masih berada di atas keyboard. Adit kembali menepuk bahunya hingga lima kali. Perlahan Hakim melepas earphone dan membalikkan kursinya sekaligus.


“Aku perlu bilang berapa kali sih, Dit? Jangan ganggu aku!” Hakim berusaha meredam emosinya yang semakin bergejolak.


Adit keluar dari pesembunyiannya, menghampiri Hakim dengan raut penuh penyesalan.


“Santai mas Bro! habis kena semprot bos, ya?” Adit mengernyitkan keningnya.
Hakim hanya mengumam.
“Perlu bantuan?” Adit menawarkan diri.
“Emangnya kamu bisa bahasa pemrograman?”


Adit menggeleng, tawarannya hanya sekedar bebasa-basi. “Emang Mas Sopian, Andre, Bang Tomas sama junior programmer yang lainnya kemana? Gak bantuin kamu?” Adit memperhatikan situasi ruangan software developer yang mirip pemakaman selama beberapa hari ini, sepi.


“Mereka sibuk ngerjain tugas di kantor klien. Kalau Bang Tomas sama Andre lagi pelatihan di Thailand!”
Adit berdecak pelan, “makannya cepet-cepet jadi senior programmer biar bisa ikut pelatihan ke luar negeri,” goda Adit.
“Udah ah, ngobrol sama kamu malah jadi ngurangin waktu aku!” Hakim kembali membalikkan badannya, memfokuskan kembali tatapannya pada layar komputer.
“Perlu aku temenin?” Adit kembali menawarkan diri.
“Gak usah! Makasih!” tegasnya.


Hakim memasang kembali earphone. Beberapa logika pemrograman yang berhasil dibangunnya sedikit buyar akibat perbuatan Adit. Staff networking ruangan sebelah ini memang senang menganggu pekerjaan orang lain di waktu senggangnya. Namun, dia juga tipe orang yang senang menghibur, mencairkan suasana, pendengar yang baik dan pemberi saran yang jitu.

***

Jalanan berkelok, turunan dan tanjakan tajam, tebing menjulang tinggi di sisi kiri dan kanan serta pemandangan hijau dari pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan menandakan bahwa mereka sudah memasuki Nagreg, salah satu kecamatan di kabupaten Bandung yang terkenal dengan kemacetannya saat menjelang libur panjang dan lebaran Idul Fitri. Tere menikmati terowongan sepanjang satu kilometer yang terbuat dari beton itu di jalan Lingkar Nagreg, proyek jalan yang membelah bukit untuk mengurai kemacetan. Rasanya seperti sedang berada di luar negeri. Sayang keindahan terowongan itu mulai pudar akibat coretan tangan-tangan jahil dan sampah plastik yang berserakan sepanjang terowongan.

“Mau kemana dulu, Pak?”
“Sebentar ya, Neng! Mau beli ubi cilembu dulu!”


Tere memperhatikan pemandangan di sekitar sana, kerlap-kerlip lampu dari warung ubi cilembu yang berjejer rapi di sisi jalan membuat silau matanya. Bau ubi yang baru dikeluarkan dari oven serta peyeum gantung menyengat, memaksa Tere untuk menghirupnya. Membuat cacing di perutnya menggeliat, dia kembali merasa lapar.


“Itu buat siapa aja, Pak? Banyak banget?” Tere mengernyitkan keningnya.
“Buat saya makan dan dibawa pulang ke rumah!” Lelaki setengah baya itu memandang ke arahnya, “Eneng, mau?” dia memberikan beberapa potong ubi hangat, lengkap dengan peyeumnya yang menggiurkan.
Tere terlihat sumringah, “makasih ya, Pak!”


Kedua tangannya sibuk mencari roti tawar yang sengaja dibelinya untuk mengganjal perut. Walaupun tubuhnya terbilang kurus, nafsu makan Tere dua kali lipat lebih besar daripada orang gemuk. Mulutnya kembali sibuk mengunyah, perpaduan antara ubi cilembu, peyeum dan roti tawar melumer dimulutnya.


“Mantap!” ucapnya setengah berteriak.
“Kita udah sampai mana, Re?” Leni terbangun oleh suara klakson kendaraan bermotor yang terjebak kemacetan di kawasan industri Rancaekek. 


Selain banjir yang menggenangi seperempat bahu jalan arah Bandung, bubaran pekerja pabrik menjadi pemicu tambahannya. 


“Baru di Rancaekek, mbak.” Tere memperhatikan lalu lintas yang semraut di sekitarnya. Pasar dadakan di sisi jalan arah Garut depan PT Kahatex pun memperparah kondisi kemacetan di jalan provinsi ini.
“Kirain udah nyampe kantor,” ucapnya lemas.
“Boro-boro, kita di sini udah hampir satu jam, mbak!” Tere memperhatikan jam di tangannya.
“Ini jam berapa sih?”
“Jam empat subuh, mbak!”

***

Hakim melakukan peregangan pada beberapa bagian tubuhnya. Sebuah senyuman mengembang sempurna, menghiasi wajahnya. Dia menghela nafas panjang saat melihat sistem informasi itu selesai seratus persen. Tepat pukul dua belas malam, seluruh beban dipundaknya mulai hilang sedikit demi sedikit. Dia pun segera melahap kue tiramisu yang sengaja disediakannya sebagai hadiah jika aplikasi itu selesai dalam dua jam.

“Tok-tok-tok,” Hakim mengetuk pintu ruangan Ivan
“Hakim?” suara khas Ivan mencoba memastikan pemilik ketukan itu sambil memicingkan matanya untuk menangkap sosok Hakim dibalik pintu kaca.
“Iya, Pak!”
“Masuk!”
“Bagaimana aplikasimu?”
Hakim tersenyum, “Sudah selesai Pak!” tegasnya.
“Coba, saya mau lihat kamu mempresentasikannya sekarang!”


Hakim mencolokkan kabel infocus itu pada laptop miliknya. Dia mulai membuka browser dan menghubungkannya pada alamat komputer kantor di mejanya. Koneksi telah terhubung, satu persatu halaman mulai dia tunjukkan. Penjelasan yang detail serta tampilan yang rapi membuat Ivan merasa puas. Dia tidak menyesal karena telah memberikan Hakim kesempatan dan kepercayaan untuk mengerjakan proyek ini sendirian.


“Ok, kalau saya sih sudah merasa cocok dengan aplikasinya, semoga klien kita pun sama!”
Hakim mengangguk.
“Nanti siang kamu ke kantor mereka untuk memasang aplikasi ini ditemani Adit dan Deni, ya! mereka mau merombak jaringan lokal kantornya juga!”
“Jadi, saya tugas diluar, Pak?”
Ivan mengangguk, “iya, sekaligus kamu analisis permintaan mereka tentang aplikasi cuti pegawai yang ingin mereka buat! Saya kasih waktu satu minggu untuk berada di kantor mereka!”
Hakim termangu.
“Tenang, orang-orang di sana ramah-ramah kok! Kantornya juga nyaman, ada café, tempat karaoke, sama tempat tinggal tentunya,” tambah Ivan.
Hakim tersenyum kaku, “kirain dapet jatah cuti!” runtuknya dalam hati.
“Tunggu apa lagi? sekarang kamu pulang, istirahat dan bersiap-siap untuk nanti siang!”
Hakim mengangguk, berlalu dari ruangan milik Ivan.

***

Tere menyeret tas ranselnya sepanjang perjalanan menuju kamar nomor empat belas. Perjalanan panjang dari Madura menuju Bandung lebih melelahkan dibandingkan keberangkatan mereka kamis lalu. Tenaganya habis terkuras setelah menyaksikan kemacetan Bandung di pagi hari. Tepat pukul tujuh pagi mereka tiba di kantor yang terletak di jalan Banda. 

Welcome back, Tere!” Dian menyapanya dengan sebuah senyuman.
Tere memaksakan dirinya untuk tersenyum, “Makasih, mbak!”
“Gimana perjalanan kalian?”
“Menyenangkan mbak!” Leni membantu Tere untuk menjawab pertanyaan itu.
“Ok, kalian boleh istirahat sampai jam satu siang! Setengah dua kita ada pertemuan dengan beberapa orang pegawai IT dari Kalong Corporation!” tegasnya.
“Makasih, mbak!” Tere menekan handel pintu di hadapannya, membayangkan betapa empuk dan hangatnya kasur serta selimut di ruang tidurnya.
“Tunggu!” Dian menghentikan langkah Tere untuk masuk ke dalam kamarnya.
Dengan tenaga yang tersisa Tere membalikkan badannya, “Kenapa lagi, mbak?”
“Batik yang saya pesen, mana?”
“Ada kok mbak, nanti saya anter ke rumah, ya!” Tere berusaha merayu Dian.


Tere menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, dia membenamkan wajah lusuh itu ke dalam bantal hello kitty kesayangannya. Lelah, letih, lesu telah menyerang pertahanan tubuhnya. Kelopak matanya begitu berat untuk tetap terbuka. Dia pun terlelap ke dalam mimpi bersama keindahan pantai Lompang yang dikunjunginya Sabtu kemarin.


“Kalian sudah siap?” Ivan memperhatikan ketiga pria berusia dua puluh tiga tahunan dihadapannya.
Mereka mengangguk mantap, “siap, pak!”


Paijo mengendarai Avanza silver milik Ivan keluar dari jalan Moch Toha, membawa Ivan, Hakim, Adit dan Deni menikmati dinginnya udara Bandung di siang hari. Hujan telah mengguyur Bandung sejak pukul sembilan pagi. Membuat Tere semakin terlelap dalam tidur siangnya.


“Tere! Tere! Tere!” Panggilan serta ketukan bertubi-tubi mendarat di pintu kamarnya. Leni sudah berusaha menghubungi Tere melalui sambungan telepon dan pesan singkat sejak satu jam yang lalu. Sayangnya ponsel pintar berlayar lima inch itu masih tersimpan rapi di dalam tas ransel yang sudah diletakkannya di kamar mandi.


“Re bangun, Re! udah jam satu siang nih!” setengah berteriak Leni kembali mengetuk pintu dihadapannya.


Hening, tidak ada jawaban dari penghuni kamar. Membuat Leni putus asa.


Baca Juga : Kali Kedua, Cerpen
***

//Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan
Mungkin akan kau lupakan, atau untuk dikenang//

Endah N Rhesa Feat Pongki Jikustik – Untuk Dikenang.


Alunan musik akustik itu menggema di seluruh ruangan café The Imaji, bagian dari perusahaan The Imaji Magazine milik Dian, wanita berusia tiga puluh lima tahun yang memutuskan untuk resign dari pekerjaan sebagai Editor dan Produser pada salah satu program televisi swasta sejak awal tahun dua ribu lima. Musik yang mengalun lembut menambah kesan romantis dan santai di dalam ruangan dengan penerangan yang berbeda-beda di setiap sudutnya, tergantung kebutuhan pengunjung.


Berbagai macam kue kering dan basah, ice cream, minuman dingin dan hangat serta makanan berat tersedia di café ini dengan harga yang terjangkau. Ivan dan keempat pegawainya menikmati secangkir kopi dan beberapa potong kue untuk menghangatkan tubuh mereka. Kantor ini berkembang pesat begitu cepat, meleset dari perkiraannya selama ini.


“Udah lama, Van?” Dian menghampiri mereka dengan wajah sumringah.
Ivan tersenyum, teman semasa SMA-nya itu tidak banyak berubah. “Baru lima menit yang lalu!” mereka berjabat tangan.
“Ngopinya kita sambung di kantor aja kali, ya?” Dian tersenyum, mengajak mereka untuk naik ke lantai tiga.
Ivan mengangguk, setuju.
“Pak Paijo, kamu tunggu di sini ya! kalau lapar pesan lagi saja yang lainnya. Satu jam lagi saya ke sini!” Ivan meminta lelaki berkumis tebal dan bertubuh gempal itu untuk tetap berada di sana.
“Baik, Pak!”
“Mia!” Dian berteriak memanggil seorang gadis yang sedang sibuk membersihkan meja.
“Ada apa, Bu?” Mia menghampirinya.
“Tolong catat pesan Pak Paijo ini, dan semua yang dipesannya tidak usah dibayar. Ya!”
“Baik, Bu!”


Leni membetulkan posisi kerudungnya yang sempat miring akibat berlari menuju ruang meeting. Peluh membasahi wajah manisnya. Dia masih nampak gelisah, rekan kerjanya masih tertidur pulas di lantai enam. Leni bergidik ngeri membayangkan hukuman apa yang akan diberikan Dian untuk Tere.


“Di lantai dua ada apa, Di?” Ivan mengajaknya berbincang di dalam lift, berusaha mencairkan suasana yang membeku.
“Ada distro, tempat karaoke sama gym! Lumayanlah buat merefresh pikiran kalau lagi mumet sama pekerjaan masing-masing!”
Ivan mengangguk, “Aku jadi tertarik bikin gedung sendiri jadinya. Sayang dananya belum cukup,” jelasnya.
“Numpang di sini aja pak kalau gitu,” Adit menimpali.
“Ide bagus! Sewa aja dilantai empat, setengahnya masih kosong!” Dian tertawa kecil, ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

***

Secepat mungkin Tere mengguyur seluruh tubuhnya agar terlihat segar saat hadir di kantor. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit. Dia hanya memiliki waktu lima belas menit untuk bersiap-siap dan tiba di ruang rapat. Jika terlambat, Dian bisa saja memberinya surat peringatan.

“Leni, Tere di mana?” Dian memandang kursi kosong di samping Leni.
“Tere?” nama itu membuat Hakim termangu, mirip nama adik kelasnya saat berada di kampus.
“Ah, nama Tere kan banyak, belum tentu dia Teresia Geraldi!” Hakim kembali meyakinkan hati dan pikirannya.
Leni tersenyum kaku, membuat Dian menggeleng pelan, “pasti dia tidur pules lagi!”


Suara sepatu flat berhasil memekakan telinga setiap orang yang dilewatinya. Perempuan berkerudung biru dongker itu berlari secepat mungkin menuju ruang meeting, membuat orang-orang yang sedang sibuk bekerja memalingkan pandangannya sejenak. Teresia Geraldi, Staff Redaksi sekaligus junior reporter ini memang sering terlambat masuk kantor. Tapi dia tidak pernah sepanik ini sebelumnya. Dengan nafas yang masih terengah-engah Tere berusaha menahan pintu yang akan ditutup dengan kaki kanannya.


“Maaf, mbak,” raut wajahnya penuh penyesalan.


Semua mata tertuju padanya, termasuk Hakim. Matanya terbelalak saat melihat perempuan yang kini duduk berhadapan dengannya. Waktu terasa berhenti begitu saja, membawanya menuju masa lalu. Tere terduduk lemas di kursinya, dia berusaha mengatur nafas. Sudut matanya menangkap seseorang yang sedang memandangnya. Dia menelan ludah, rasanya ada ratusan pil pahit yang harus ditelannya. Tere kembali mengalihkan pandangannya pada layar besar yang menampilkan rancangan jaringan karya Adit dan Deni.


“Dia kembali?” gumamnya dalam hati.

***

“Kenapa kakak tiba-tiba jauhin aku?” Tere mengigit bibir bawahnya, berusaha menahan butiran air mata yang siap berjatuhan.

Dia masih bergeming, menatap penuh kekosongan ke arah perpustakaan.


“Jawab aku, kak!” Tere kembali memaksanya untuk berbicara.
“Aku tidak ingin tenggelam dalam perasaan ini semakin dalam lagi, Re!” tegasnya.
“Maksud kakak?”
“Sebenarnya aku sayang sama kamu, tapi maaf … aku sudah berjanji untuk tidak berpacaran,” ucapnya lirih.
“Kenapa kak? Aku juga sayang sama kakak! Lebih dari sayang seorang adik kepada kakaknya!”
“Aku takut Re! Aku takut, rasa cinta kakak kepada kamu lebih besar daripada rasa cintaku kepada Allah nantinya!”
“Ya itu kan tergantung niat kita Kak, lagipula cinta sama Allah itu tetep nomor satu, kok!” Tere membela diri, membela perasaannya.
“Kakak tetep nggak bisa Dek, maafin Kakak ya! Kakak inginnya langsung menikah tanpa ada yang namanya pacaran!” Dia kembali mempertegas keputusannya.
“Kakak ingin mencintai kamu karena Allah, kalau kita jodoh pasti kita akan di pertemukan lagi.” tambahnya tanpa menatap Tere sedikitpun.
“Kakak nggak takut kehilangan Aku?” Satu per satu butiran air mata meluncur di pipi bulatnya.


Hakim tersenyum “Kakak takut kehilangan kamu, tapi kakak lebih takut kehilangan Allah dari dalam hati Kakak. Sekali lagi, Maaf.”

Butiran air mata itu menetes semakin deras di pipinya, tak mampu untuk dibendung lagi.


“Tolong jangan nangis, karena kakak nggak bisa menghapus air mata kamu!” tambahnya kemudian berlalu meninggalkan Tere di taman kampus yang nampak sepi karna hujan deras yang mengguyur Bandung sejak siang tadi. Tere tenggelam di dalam rasa sakitnya, membiarkan angin menguraikannya sedikit demi sedikit.

***

“Ini Tere dan Leni, mereka akan memberikan informasi lengkap tentang seluk-beluk kantor ini dan aplikasi cuti yang kami inginkan!” Dian memperkenalkan kedua gadis itu kepada mereka.

Kedua bola mata itu beradu, memperlihatkan sebuah luka yang menganga dari pemiliknya. Sejak Hakim menolaknya, Tere berusaha untuk bangkit dan memperbaiki diri. Mulai dari merubah penampilan dan menjaga sikapnya. Setelah dia berhasil mengubur setengah dari kenangan pahit itu. Hakim tiba-tiba saja muncul kembali ke dalam kehidupannya. Proyek ini, rasanya dia tidak sanggup untuk bersama Hakim selama satu minggu penuh.


“Kayaknya kamu sama Tere udah saling kenal, ya?” Adit berbisik di telinga kanannya.


Hakim terdiam, dia menarik jemarinya yang sibuk memainkan mouse dan keyboard di ruangan server milik The Imaji Magazine. Hanya mereka berdua, di dalam ruangan sedang dan bersuhu dingin tersebut.


“Kenapa? Aku salah ngomong ya?” Adit menatap rekannya yang berdiri mematung.
“Memangnya kenapa kalau kami saling mengenal?” Hakim menatapnya tajam.


Pintu di belakang tubuhnya terbuka setengah, menampakkan seorang perempuan yang tersenyum kaku ke arah mereka.


“Maaf menganggu, kalian dipanggil mbak Dian!” tegasnya, kemudian berlalu.
Keduanya berpandangan, “sebaiknya kita jangan bahas masalah aku dan dia lagi!” Hakim memasukkan kembali keyboard itu ke dalam laci.

***

Pada kenyataannya mereka tidak bisa lagi bersembunyi bahkan melarikan diri. Satu-satunya hal yang bisa mereka lakukan adalah menyimpan kenangan dan luka itu rapat-rapat. Meskipun celah-celah kecil pada dinding hati keduanya tetap menunjukkan rasa sakit itu. Pengerjaan proyek ini sudah berlangsung selama dua hari. Hakim dan Tere nampak menjaga jarak dan terlihat canggung saat mencoba berdiskusi.

“Kamu ada masalah dengan Hakim?” Dian menatapnya tajam.


Tere masih enggan mengangkat kepalanya yang tertunduk, dia tak akan sanggup menatap mata Dian yang setajam silet saat merasa kecewa dengan kinerja karyawannya.


“Tere, saya sedang bicara sama kamu!” Dian menggebrak mejanya cukup keras, membuat tubuh Tere bergetar hebat. “Tatap mata saya!”


Perlahan dia mulai mengangkat kepalanya, menatap Dian dengan mata berembun.


“Please, jangan cengeng! Kamu sudah bukan remaja belasan tahun lagi! umur kamu sudah dua puluh satu tahun, Tere! Seberat apa pun masalah yang kamu punya, kamu harus hadapi itu!”
“Semua orang punya masa lalu, Re! termasuk saya!”


Menjadi seorang single parent untuk putri semata wayangnya yang kini berusia empat belas tahun bukanlah hal yang diinginkan oleh Dian. Membangun usaha ini bersama dan mengembangkannya sendirian membuatnya mengalami masa-masa sulit selama satu tahun penuh. Ivan, laki-laki yang dicintai dan mencintainya sejak masih duduk dibangku SMA itu menuruti keinginannya untuk berpisah. Dian pernah menjadi seorang wanita yang egois dan pencemburu. Dia tak pernah mau mendengarkan penjelasan Ivan dan itu membuatnya menyesal. Memungkiri perasaannya yang masih mencintai Ivan.


“Tapi kamu lihat kan? kami bersikap seolah-olah tidak mempunyai masa lalu yang buruk atau pun masalah pribadi!”
“Kami berusaha professional, Re! karna kami tahu, sebagai manusia dan makhluk sosial, kami tidak bisa berdiri sendiri! Aku butuh bantuan dari perusahaan dia!”
“Ivan rela membangun usahanya dari nol tanpa meminta kembali modal yang sudah ditanamkannya pada kantor ini,” Dian terisak.
“Mbak,” Tere merasa bersalah, kedua tangannya hampir menyentuh tangan milik Dian.


Hanya butuh waktu lima menit untuknya mengakhiri drama kehidupan ini. Dian segera butiran air mata yang membasahi pipinya. Dia kembali menjadi sosok yang tegar.


“Saya nggak tahu kamu punya masalah apa sama Hakim, tapi saya mau kalian bekerja secara professional! Nggak lama kok, Re! Cuma lima hari lagi, akan lebih lama jika kalian tetap berkomunikasi seperti sekarang ini!”

***

Ucapan Dian masih terngiang-ngiang di telinganya, terekam jelas dipikirannya dan menancap di hatinya. Membuat Tere terjaga semalaman. Dia mulai melangkahkan kaki, menaiki anak tangga menuju ke lantai tujuh. Sekilas, Hakim melihat siluet Tere dan memutuskan untuk mengikutinya secara diam-diam.
Pintu dihadapannya terbuka lebar, udara segar langsung menyambutnya dengan penuh kehangatan. Rerumputan hijau yang sengaja di tanam Dian di atap gedung masih nampak berembun, tapi Tere tetap duduk di pinggiran, membiarkan kakinya menjuntai ke bawah. Dia merentangkan kedua tangannya dengan mata terpejam. Rutinitas yang digemarinya sejak satu tahun terakhir.


“Sejak kapan Tere nggak takut ketinggian?” Hakim menggeleng, kemudian berlalu dari sana.


Pemandangan di sekitar kantor masih nampak sepi, hanya nampak beberapa kendaraan bermotor dan delman yang berlalu-lalang. Bulan yang terlihat bulat sempurna pun seolah enggan meninggalkan malam, padahal beberapa menit lagi matahari akan menampakkan dirinya. Lampu-lampu mulai dimatikan, menandakan aktifitas warga Bandung akan segera dimulai.


“Terima kasih Tuhan, sudah mengijinkanku untuk dapat menghirup udara segar sebanyak-banyaknya. Dan memberikan kenikmatan akan pekerjaan ini!”
“Tere?” Hakim berdiri di belakangnya, membawakan dua cangkir cokelat panas di tangannya.
Kepulan asap tipis membumbung tinggi, hendak menggapai langit. Menampakkan sosok Hakim dihadapannya.
“Buat kamu,” Dia menawarkan cokelat panas di tangannya.


Tere menatapnya, ragu. Bayangan masa lalu mereka masih terputar layaknya film di dalam pikirannya.


“Ayolah, Re! aku datang sebagai seorang teman,” Hakim tersenyum penuh ketulusan.


Tere menyambut cokelat panas itu dengan riang, sudah lama sekali mereka tidak melakukan ini. Berbincang sebagai teman dan partner kerja. 


“Maafkan kesalahanku di masa lalu ya, Re!”
Tere mengangguk, “Aku juga, aku terlalu kekanak-kanakan menyikapi hal itu!”


Hakim mengangguk, setuju.


 “Sebaiknya, kita jangan membahas hal ini lagi, kita harus bekerja secara professional!” Tere tersenyum dengan pandangan lurus ke depan, menatap matahari yang mulai menampakkan dirinya.
Keduanya terdiam, menyambut pagi dengan perasaan lega.

***

“Papa!” seorang gadis remaja menyambutnya penuh kehangatan di depan pintu lift.

Ivan memeluk putri kesayangannya dengan erat, untuk pertama kalinya dia memberanikan diri untuk menemui Dian dan Diva di rumah mereka yang terletak di lantai lima, di gedung yang sama, The Imaji Magazine. Dian berusaha menyembunyikan kesedihannya, jarak antara mereka hanya beberapa meter saja.


“Masuk yuk, Pa!” Diva memaksanya untuk masuk ke dalam rumah mereka.
“Maaf,” Ivan menatap Dian yang masih berdiri mematung di depan pintu rumah yang lebih mirip apartemen itu.


Dian menyajikan hidangan spesial buatan tangannya sendiri untuk menyambut tamu istimewanya pagi ini. Diva terlihat begitu bahagia saat melihat kedua orangtuanya duduk di sampingnya dan melakukan rutinitas pagi yang selama ini tak pernah ada pada daftar kehidupannya.


“Mama sama Papa nggak mau rujuk lagi?” Diva menatap keduanya secara bergantian.
Keduanya terdiam, berusaha meredam gejolak yang ada di hati masing-masing.
“Diva ingin seperti teman-teman, tinggal satu rumah sama orangtua mereka!”
“Ma,” Diva mengguncang-guncangkan tubuh ibunya, memaksa Dian untuk berkomentar tentang keinginannya.


Dian menatap Ivan dengan pandangan nanar. Keduanya memiliki perasaan yang sama, terluka akan perpisahan ini. Menyimpan semua cinta yang mereka miliki di dalam hati.  Tapi gengsi membuat mereka tetap bersikeras pada pendirian masing-masing.


“Diva, kamu harus berangkat sekolah, sayang. Pasti Mang Ujang udah nunggu kamu di bawah,” Dian berusaha mengalihakan pembicaraan.
“Ok, Diva akan sekolah. Tapi Papa harus tetep di sini sampai Diva pulang sekolah!”


Hening, hanya hembusan nafas dan detak jarum jam yang terdengar di ruangan yang cukup luas itu. Dian ingin mengatakan sesuatu, tapi secepat mungkin kembali mengatupkan bibirnya. Perasaan ragu di dalam hatinya lebih kuat dibandingkan keinginannya untuk mengatakan hal itu.


“Proyek kami sudah selesai! Hakim bilang semuanya sudah beres tadi malam,” Ivan memecah keheningan di antara mereka.
Dian mengangguk dan tersenyum tipis, “Aku akan transfer sisa pembayarannya ke rekening kamu.”
“Nggak usah!” Ivan menatapnya cukup lama.
“Kenapa?” Tere tercengang, Ivan tak pernah main-main dalam urusan pekerjaan.
Dia menarik nafas panjang, “apa kita tidak bisa memulainya dari awal lagi, Di?” ucapnya penuh harap.
“Maksud kamu?”

***

Mereka merayakan keberhasilan proyek yang diselesaikan lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan. Tere dan Hakim berhasil membuang masalah pribadi dari masa lalu mereka selama beberapa hari ini, tapi belum selamanya. Tidak ada lagi dendam atau pun benci di antara mereka, namun rasa sakit masih tetap bersarang di hati keduanya. Sama halnya seperti Ivan dan Dian. Makan malam bersama dan berkaraoke menjadi pilihan perayaan kecil-kecilan ini.

“Selamat ya, Re! kamu berhasil menjadi seorang professional!” Dian menjabat tangannya.
“Ini juga berkat mbak Dian!” Tere memeluknya selama beberapa menit.
Dian menepuk-nepuk pundaknya, “masa lalu mungkin tidak akan bisa diputar ulang, tapi masa lalu bisa kita perbaiki di masa yang sedang kita jalani,” bisiknya pelan.
“Jadi, mbak Dian mau memperbaikinya?” goda Tere.
Dian tersipu malu, “entahlah!”
Tere tersenyum, “kalau nggak bisa diperbaiki?”
Dian mencubit kedua pipinya, “cari yang baru!” tegasnya kemudian tertawa kecil.


Keduanya tertawa, Dian bukan hanya seorang bos yang menggajinya setiap bulan. Dian adalah guru bagi kehidupannya. 


“Saya akan berikan kamu waktu satu minggu untuk cuti berlibur! Kamu mau kemana?”
Tanpa ragu Tere segera menjawab pertanyaan itu, “Madura!” tegasnya.
“Kok Madura?” Dian mengernyitkan keningnya.
“Dia kurang puas waktu kita liputan kemaren itu, mbak! Cuma bisa ngunjungin pantai Lompang di Sumenep!” Leni menimpali.
“Tapi kali ini biaya di tanggung sendiri ya!” goda Dian.
“Yaah, kirain dapet bonus!” Tere merengut.

***

Hakim duduk di sudut ruangan café dengan penerangan yang temaram. Dia memilih untuk keluar dari hiruk-pikuk perayaan keberhasilan proyek ini. Secangkir Capuccino dan sepotong kue tiramisu kesukaannya menemani kesendirian itu. Rasa yang berusaha dikuburnya dalam-dalam, kini semakin nampak ke permukaan.

//Petiklah hatiku dengan kesungguhan
Dan jadilah embun penyejukku …
Nyalakan cahaya, penuntun langkahku
Aku kan setia di belakangmu. //
Indah Nevertari – Come N Love Me


Lagu up-beat milik pemenang Rissing Star Indonesia tahun dua ribu empat belas itu menggema di seluruh ruangan, menambah kegelisahan di dalam hatinya.


“Ngapain kamu di sini?”
Hakim tercengang, Ivan sudah berdiri di hadapannya.
“Pengen aja, Pak!”
Ivan tersenyum, dia menggeleng kecil.
“Kamu yakin?”
Hakim mengangguk kecil.
“Kejar apa yang harus kamu kejar. Perjuangkan orang yang sudah sepantasnya kamu perjuangankan sebelum semuanya terlambat!”


Ucapan Ivan mengiringi langkahnya menuju ke lantai dua. Dengan nafas terengah-engah Hakim kembali ke dalam ruangan karaoke berkapasitas dua puluh lima orang itu. Tere nampak asyik bernyanyi lagu yang sama dengan apa yang terputar beberapa menit lalu di dalam café.


//Aku mau cinta sekali saja, tapi untuk selamanya
Kubutuh cinta sepenuh rasa
Miliki aku selamanya
Berilah cinta bagai cahaya
Terangi aku selamanya.// 



***

Tere meraih ponselnya yang bergetar, lengkap dengan cahaya layar yang berkedip menampilkan nama Hakim. Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan untuk menguatkan hatinya, Tere menekan tombol hijau itu tanpa merasa ragu sedikitpun.

“Aku butuh bicara empat mata sama kamu!”
Tere menatap Dian, perasaan ragu kembali muncul dan meruntuhkan benteng pertahanan hatinya. Dian memandangnya dan mengangguk pelan. Mengisyaratkannya untuk pergi menemui Hakim. Menjemput cinta mereka.
“Di mana?
“Di tempat di mana kamu bisa memandang langit dan bintang-bintang, tempat favorit kamu di gedung ini!”


Lift pada gedung berlantai tujuh itu mendadak sibuk dan tidak ingin ditumpangi olehnya. Dengan terpaksa Tere menaiki anak tangga satu per satu. Kedua kakinya terasa lemas saat tiba di atap gedung, lantai ke tujuh. Seorang pria berjaket tebal sedang berdiri di pinggiran atap, kedua matanya sibuk menatap bintang di langit.


“Gimana Len, liftnya berhasil kamu manipulasi, kan?” Dian menatap Leni yang tersenyum ke arahnya.
“Berhasil dong, mbak!”
“Bagus!”
“Tapi kasian Tere loh mbak, naik tangga lima lantai!”
“Biarin! Biar dia usaha!”


Sebuah lampu taman menjaga jarak di antara mereka. Untuk sepuluh menit pertama mereka hanya berdiam diri tanpa mengatakan apa pun. Hanya hembusan angin dan hembusan nafas mereka yang terdengar lirih.


“Ada apa, kak?” Tere berusaha memecah keheningan di antara mereka. Dia tidak bisa berlama-lama lagi berada di sana bersama Hakim.


Udara Bandung malam ini begitu menusuk hingga ke pori-pori kulit terdalam, menembus sweater tebal yang dikenakannya. Membuatnya kembali merapatkan jaket itu pada tubuhnya.


“Apa kamu masih mencintaiku, Re?”
Tere menatap Hakim, kemudian mengalihkan pandangannya ke posisi semula.
“Nggak kak …”


Hakim menghela nafas dan terdiam. Detak jantungnya terasa terhenti untuk beberapa detik. Mungkin inilah kekecewaan yang harus di terimanya setelah sekian lama menunggu, menunggu jawaban tentang jodohnya.


“Aku lebih mencintai Allah, sama seperti kakak,”  Tere melengkapi ucapannya yang menggantung di langit-langit hati milik Hakim.
Hakim tersenyum, jawaban Tere membuatnya merasa begitu bahagia.
“Apa kakak sudah menikah?” tanyanya penuh keraguan.
Hakim menggeleng, “belum!”
“Kenapa?” Tere menghirup udara dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan. Obrolan ini membuatnya kembali membuka luka lama.
“Belum ketemu jodohnya!” tegas Hakim.
 

Hening, angin berhembus semakin kencang. Menerbangkan daun-daun yang berguguran dari pohon mangga milik Dian.

“Kalau aku melamarmu, apa kamu mau menjadi istriku?”


Tere terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Hakim. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa rasa yang dia miliki tidak akan pernah berubah hingga dia tua nanti.


“Jika Allah mengijinkan dan menakdirkan kita berjodoh, aku dengan senang hati akan menerimanya, kak.” Tere tersenyum manis.


“Jangan lupa undangannya ya!” Dian meneriaki mereka dari dekat pintu.


Wajah Tere bersemu merah, dia segera berlari menghampiri Dian dan memeluknya erat.


“Untung yang dipeluk bukan Hakim, ya!” goda Ivan.
“Belum muhrim, Pak!” Leni menimpali.
 
***
Diva berlari-lari kecil menghampiri kedua orangtuanya. Untuk pertama kalinya dia melihat kedua orangtua yang dicintainya menjemputnya sekolah.

“Mama dan Papa mau menikah lagi!” ucap Dian, singkat.
“Hah?” mata jernih milik gadis cantik itu terlihat mulai berembun.
“Loh kok malah mau nangis?” Ivan mengernyitkan keningnya.
“Jadi kalian nggak bisa sama-sama lagi?”
Dian tertawa kecil.
“Kok Mama malah ketawa?” protes Diva.
“Maksud Mama itu, Mama mau nikah lagi sama Papa! Bukan maksudnya kami menikah dengan orang lain!”


Diva tersenyum lebar, kemudian memeluk kedua orangtuanya dengan erat. Proyek kerjasama ini telah memberikan bonus hadiah untuk Dian, Ivan, Hakim dan Tere. Hadiah Jodoh yang selama ini dinantikan oleh Hakim. Hadiah pernikahan kedua bagi Dian dan Ivan.

Add Comments

Tinggalkan komentar ya, supaya aku bisa mengujungi situs milikmu. Diharapkan jangan menyimpan link hidup di kolom komentar karena otomatis akan dihapus. Terima kasih :)
EmoticonEmoticon