31 May 2015

Hujan Kan Membawamu Kembali Di Sini

Hujan Kan Membawamu Kembali Di Sini
Oleh : Gilang Maulani

Cerpen ini tergabung di dalam buku Antologi Cinta di Balik Hujan Cerpen #3 pada penerbit Pena House yang terbit tahun 2014



Butiran-butiran air hujan mulai turun membasahi bumi. Bunyinya terdengar merdu seperti alunan nada, nada kerinduan yang bersemayam di dalam hati ini. Hujan selalu mengingatkanku kepada dia, seseorang yang telah mengisi lembaran-lembaran kosong dalam kehidupanku. Hujan telah membawanya untuk menemaniku dan hujan pula yang membawanya pergi menjauh.

Aku menerobos hujan sore itu, belari-lari kecil seperti 10 tahun yang lalu saat aku  masih berumur enam tahun. Aku membiarkan hujan membasahi seragam putih abu-abuku. Aku bahagia, karena setelah sekian lama akhirnya aku bisa melakukan hal ini. Kurentangkan tanganku di tengah-tengah lapangan sekolah. Perlahan aku mulai memejamkan mata dan menikmati tetes demi tetes air yang berjatuhan dari langit.

“Kamu itu kekanak-kanakan, ya? Masa udah gede gini masih aja hujan-hujanan!”

Aku membuka mataku perlahan, kini sebuah jaket berada tepat di atas kepalaku dan melindungiku dari hujan. Aku menoleh ke samping kanan, kulihat Radit ada di sana dan tersenyum menatapku. Radit adalah cowok yang aku sukai secara diam-diam sejak kelas satu SMA. Kini jarak kami begitu dekat dan aku benar-benar tidak bisa menghindar kali ini.

“Ngapain kamu di sini?”

“Emangnya kamu gak bisa liat ya aku lagi ngapain sekarang?”

“Tapi kamu ganggu kebahagiaan aku, Radit!” ucapku yang tidak mau gengsi padahal di dalam hati,
“kamu so sweet banget sih Dit, aku gak nyangka kamu yang so jutek sama aku ternyata perhatian kayak gini.” Tanpa kusadari aku menyunggingkan sebuah senyuman.

“Ngapain kamu senyam senyum kayak gitu?” kening Radit berkerut.

“Kesenengan ya deket sama aku?”

“Geer banget, udah sana pergi! Aku mau lanjutin nari di tengah hujan!”

“Mendingan kamu ikut aku sekarang” Radit mengenggam tanganku dan memaksaku mengikutinya menuju koridor sekolah.

Radit mengeluarkan baju olahraga dari dalam tasnya. Dia memintaku untuk berganti pakaian. Ada raut kekhawatiran di wajahnya. Tapi masa iya dia khawatir sama aku, ah entahlah.

“Aku nggak mau pake baju olahraga kamu yang pasti bau keringet!”

“Baju aku ini wangi, tau!” Radit mendekatkan bajunya ke hidungku.

Baju itu memang masih wangi, wangi parfum kesukaan Radit. Aku terdiam dan berada di dalam kebimbangan. Hujan masih turun dengan derasnya dan dengan setia menemani kami berdua di koridor sekolah yang entah mengapa sangat sepi siang ini. 

“Malah ngelamun, udah buruan sana ganti baju!” Radit memaksaku menerima bajunya dan mendorongku menuju toilet yang berada didekat mading sekolah.

Di dalam toilet aku berharap hujan turun lebih lama, agar aku bisa berada didekat Radit lebih lama lagi. Aku menatap diriku di cermin, kesal sekali rasanya melihat baju Radit yang ukurannya terlalu besar untuk tubuhku, namun disisi lain aku bahagia karena bisa memakai baju Radit dengan bau parfum khasnya. Wanginya menusuk sampai ke ulu hati. Memberikan kehangatan serta kesejukkan untukku.

“Woy, siang bolong malah ngelamun! Ngelamunin apa sih?” Aneu menepuk pundakku dan menyadarkan lamunanku tentang Radit.

“Siapa juga yang ngelamun!”

“Udahlah jujur aja, kamu lagi mikirin siapa sih?”

Aku menatapnya nanar, “nggak mungkin kan aku bilang kalau aku merindukan Radit, Neu. Apalagi kamu pacaran sama Radit.”

Aku keluar dari dalam toilet dan menghampiri Radit dengan baju yang kebesaran. Radit tertawa terbahak-bahak melihatku. Dengan sigap aku membungkam mulutnya menggunakan kedua telapak tanganku. Jarak kami sangat dekat dan saling bertatapan. Saat itu hujan tiba-tiba saja terhenti. Aku segera melepaskan kedua tanganku yang membungkam Radit, perlahan aku menjauh darinya.

“Hujannya reda, aku anter kamu pulang ya?”

“Apa? Radit mau anterin aku pulang? Demi apapun aku seneng banget!” teriakku dalam hati.

“Aku mau makan bakso dulu di warung mang Udin!”

“Besok-besok aja deh, mumpung reda nih hujannya.”

“Ayolah Dit, kapan lagi kamu mau deket-deket sama aku kayak gini?”

Radit terdiam, mungkin pertanyaanku telah menyinggung perasaannya. Tapi aku bicara tentang kenyataan, semenjak masuk SMA kami memang jarang bertegur sapa. Sikap Radit berubah drastis dan tidak semanis dulu, padahal kami bersahabat sejak kecil.

“Ya udah kalau kamu makan bakso, makan aja sendiri! Aku mau pulang!” ucapnya sedikit membentak.

Aku membiarkan bayangan Radit serta sepeda motornya menghilang dibalik gerbang sekolah. Andai saja dia tahu dan mau mengerti akan perasaan ini sedikit saja. Aku berharap Radit kembali dan menuruti keinginanku. Aku sampai di warung mang Udin dan memesan satu porsi bakso urat kesukaan kami, dulu.

***

“An, mau pulang bareng aku nggak?” Aneu mencubit lenganku dan kembali membuyarkan lamunanku tentang Radit.

“Nggak ah, kamu pasti balik sama Radit, kan?”

“Nggak kok, hari ini dan seterusnya aku bawa mobil sendiri, kan aku udah putus sama Radit” Aneu tersenyum tipis.

“Apa? Putus?” aku terlonjak kaget bahkan hampir terjatuh dari kursi.

Aneu mengangguk pelan “Sudah satu bulan kami putus, An. Aku balik duluan ya kalau gitu?”

Aku mengangguk pelan. Entah aku harus senang atau aku harus sedih mendengar pernyataan Aneu tersebut.. yang pasti aku selalu bahagia ketika hujan turun membasahi bumi.

Ternyata Radit kembali menghampiriku di warung bakso pak Udin. Dia memaksaku untuk pulang dengannya. Aku menolak, dan tetap kukuh dengan pendirianku yang ingin makan bakso sebelum pulang.

“Kamu jangan nyesel ya An, kalau nanti kita nggak akan ketemu lagi!” tegasnya yang beranjak pergi.

Hujan turun dengan derasnya, sesuai permintaanku. Radit kembali duduk di hadapanku dengan wajahnya yang terlihat kusut. Aku bahagia karena bisa berlama-lama duduk berhadapan dengan Radit. Kami bercanda dan tertawa berdua.. hmmm.. rasanya seperti mengulang masa-masa kecil kita yang indah.

“Masuk sana terus ganti baju, jangan lupa cuci baju sama jaket aku!” Radit mengacak-ngacak poniku ketika kami tiba di depan gerbang rumahku.

“Siap, bos!” aku membalas perbuatan Radit dengan mengacak-ngacak rambutnya.

Radit tersenyum di antara gerimis hujan sore itu, senyuman yang selama dua tahun ini menghilang.

“Dit, apa besok kita masih bisa deket kayak gini lagi?” tanyaku sebelum Radit pulang.

Radit turun dari sepeda motornya lalu mendekatiku. Perlahan tapi pasti, dia terus mendekat kemudian memeluk tubuhku. Beberapa detik kemudian dia melepaskan pelukannya dan mengecup keningku dengan penuh kehangatan serta kasih sayang. Aku terdiam, hari ini sungguh indah dan aku tidak ingin hari ini berlalu dengan cepat. Aku masih ingin berada di antara gemercik hujan bersama Radit seperti dulu.
Hujan kembali turun dengan derasnya, namun kami masih berdiri mematung dan saling menatap satu sama lain.

“Maafkan aku, An.. mungkin ini kedekatan kita yang terakhir. Aku tidak ingin Aneu salah paham melihat kedekatan kita.”

“Aneu?”

Radit mengangguk perlahan “Iya, kami sudah resmi berpacaran satu minggu yang lalu.”

Waktu seolah-olah terhenti, perasaanku kini hancur berkeping-keping. Ternyata perasaan yang aku pendam selama satu tahun ini bertepuk sebelah tangan, tidak berarti apa-apa untuk Radit. Hari ini hujan telah membawanya untuk kembali menemaniku dan hari ini juga hujan membawanya menjauh dariku bahkan lebih jauh dari sebelumnya.

Aku mulai menghapus airmataku yang menetes begitu saja. Dengan langkah gontai aku bergegas keluar dari ruangan kelas. Hujan memang belum reda, tapi aku tidak ingin terlarut di dalam kerinduan ini lebih lama lagi. Aku mencintai Radit dan dia tidak pernah tahu akan hal itu. Aku menerobos hujan agar dapat meninggalkan lingkungan kampus secepat mungkin.

Aku merasa ada seseorang yang menaungiku dari hujan. Kutengok ke atas dan kulihat sebuah payung berwarna warni melindungiku dari hujan. Aku menoleh ke samping, di sana ada Radit yang tersenyum menatapku, senyuman yang masih sama seperti dulu.

“Kamu itu kebiasaan ya, kebiasaan hujan-hujanan!” tegasnya.

“Untuk apa kamu datang lagi di hadapanku, Dit?” tanyaku setengah menangis.

Radit melepaskan payung yang menaungi kami, membiarkannya terbang tertiup angin yang berhembus kencang. Dia menatapku tajam, sesaat kemudian dia berlutut di hadapanku.

“Aku merindukan saat-saat seperti ini An, saat dimana kita berdua berada di antara gemercik hujan yang turun.”

“Sudah lama aku memendam semua ini, asal kamu tahu An, aku menyayangi dan mencintaimu sejak kita masuk SMA, tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menyatakannya.”

“Hanya bersama hujan aku berani mendekati kamu, hanya hujan yang dapat mendekatkan kita dan menjaga kita agar berada lebih lama di tempat yang sama.”

Kali ini aku benar-benar tenggelam bersama rintik hujan yang turun. Benar-benar tenggelam ke dalam kubangan hati  Radit, seseorang yang selalu aku rindukan setiapkali hujan turun. Hujan telah membawanya kembali di sini, ke dalam pelukanku. Hujan menghapuskan semua rindu yang selama ini ku pendam untuknya. Hujan benar-benar menyatukan cinta kami, cinta yang selama ini kami pendam sendiri di antara rintik hujan yang turun.
24 May 2015

Antologi ke Tiga Puluh Satu

KADO TERINDAH #4

Genre : Kumcer
Penulis : Boneka Lilin et Boliners
Editor : Boneka Lilin
Desain Sampul : Mochamad Haririe
Penerbit : Harfeey
Tebal : 170 Hlm, A5
Harga : Rp41.000,- (harga khusus kontributor: Rp34.800,-)
Order : Judul_Jumlah_Alamat (WA/SMS 081904162092 atau BBM 7FA7F31F)

Sinopsis
25 cerita pendek, 25 penulis pilihan berdasar seleksi, 25 kado terindah. Selamat membuka dan merasakan keindahan di masing-masing kisahnya.
*
Sedikit klise, namun memang kado terindah tidak hanya tampil bersponsor rupiah melimpah. Ada banyak rupa yang mewarna banyak momen bahagia di balik cerita dalam buku ini, sebuah antologi khusus untuk menyambut 3 tahun eksistensi Penerbit Harfeey sebagai rekanan penulis dan pembaca buku. Buah karya dari penulis-penulis pilihan dalam negeri.

Kontributor :
Boneka Lilin, Diah Ayu Nuratillah, Hady Kristian, Zakiyah, Antonio Rizzo, Nuke Rouffyanti Abdillah, Yulianti, Ghea Soedirhamz, Patria Praty Dhina, Selyfdw, Anizza Hanni, Bella Megawati, Ge Maulani, Rahma Fitriana, Putri Widya, Nouvha LeviRiond, Riska Ayu, Tessa Amanda, S. Ellyka, Iqbal S. Putra, Arfyan Kusuma, Rizma Yunita, Enni Affandi, Andier Mutiara, Witri Prasetyo Aji, Fadwa Nita

Antologi Ke Tiga Puluh

OSPEK #2

Genre : Kumcer
Penulis : Boneka Lilin et Boliners
Editor : Boneka Lilin
Desain Sampul : Mochamad Haririe
Penerbit : Harfeey
Tebal : 155 Hlm, A5
Harga : Rp39.000,- (harga khusus kontributor: Rp33.200,-)
Order : Judul_Jumlah_Alamat (WA/SMS 081904162092 atau BBM 7FA7F31F)

Sinopsis :

Aku tidak tau apa korelasi antara siksaan fisik dan psikis dengan kesiapan memasuki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi, karena faktanya tidak pernah ada guru atau dosen yang memakiku dengan pengeras suara, terlebih ketika aku tidak melakukan kesalahan apa-apa.

Aku tidak mengerti di mana manfaat berdandan konyol yang diperintahkan tanpa toleransi, karena di dunia pendidikan dan bahkan di dunia kerja, tidak ada syarat harus berpenampilan layaknya orang gila.

Aku gagal paham, kenapa hanya di Pertiwi ini, mayoritas OSPEK dijadikan sebagai ajang balas dendam berkedok penempaan oleh orang-orang yang mengaku terdidik dan dimandati untuk mendidik, namun berperilaku seperti manusia tak berpendidikan.
Dan sialnya, untuk pertama kali dalam hidup, aku dipaksa menjilat pada orang-orang yang gila hormat.

Kontributor :
Boneka Lilin, Hima K, Ge Maulani, Putri Widya, Fadwa Nita, Ubaiyana Lessy, Nidhom VE, Yusuf Setya, Ririh Damayanti WG, Megandarisari, Aziz Mustafa, Nenny Makmun, Annur Riska Eka Putri AZ, Ghoffar Albab Maarif, Ika Karisma, Muhammad Khanafi, Kakranita, Vety Fajar Pangestu, Khanis Selasih, Inggrid Fincilia Hukubun, Alvara Khyzu
19 May 2015

CiVid Cafe - Cerpen

Bandung, 20 Februari 2015

Gemerisik daun yang saling bersentuhan menyadarkanku dari lamunan. Aku tertegun, menatap sosok perempuan yang memunggungiku dengan jarak dua meter. Semilir angin meniupi rambut hitam lurusnya yang terurai sebahu. Dia selalu berdiri di tempat yang sama setiap pulang kantor. Menatap langit jingga sambil berkomat-kamit merapalkan sesuatu. Sementara aku duduk manis di atas kap mobil, menyaksikan ritual rutinnya tanpa berusaha menganggu.

“Ayo pulang!” langit mulai gelap saat dia menghampiriku dengan senyuman mengembang.
Aku membalas senyumnya, menuntun dia masuk ke dalam mobil dan memasangkan sabuk pengaman untuknya.

“Kita ke Starbucks dulu, ya? aku mau beli vanilla latte sama cheese cake buat persiapan begadang sama kamu!”

Kebiasaan yang sama setelah dia menghabiskan senja dengan menatap langit, pergi ke kedai kopi favoritnya untuk membeli minuman yang sama, setidaknya selama dua belas bulan aku mengenalnya.

“Kamu tunggu di sini ya? Cappucinno, kan?”

Aku mengangguk. Dia akan berjalan tergesa-gesa menuju ke tempat barista. Tersenyum tulus, tertawa kecil bahkan terlibat percakapan dengan pria yang kedua tangan dan matanya terfokus meracik kopi pesanannya. Aku sama sekali tidak cemburu, karena aku tahu pria itu adalah teman kuliahnya, dulu. Dan aku tidak ingin mengetahuinya lebih banyak lagi, untuk apa memintanya mengungkit masa lalu? Toh dia hidup bersamaku di masa sekarang dan yang akan datang.

Sepanjang perjalanan kembali menuju kantor, dia akan terdiam. Sesekali menatap layar ponsel pintarnya dengan gelisah, seolah menunggu kabar dari seseorang. Sementara aku hanya menghela nafas, fokus pada jalanan dan sesekali melihatnya lewat sudut mata. Ayolah, mungkin dia menunggu kabar dari desainer baju pengantin kami … aku perlu mempercayainya dan selalu berpikir positif.
“Kamu punya lagu baru nggak?”

Dia mengeluarkan semua kaset koleksiku, melihatnya satu per satu dan memilih satu di antara semuanya.

“The Script?” Dia mengernyitkan kening, menatapku heran.

“Kenapa?” aku balik bertanya.

“Aku baru tahu ada band namanya The Sricpt …” Dia membolak-balikan kaset dvdnya sebanyak dua kali, “emang lagunya enak?”

“Lagu nggak bisa di makan, Cit!” Aku menggodanya.

Dia merengut, “di denger maksudnya, Omaaaaaaaaaas!”

“Thomas, Cit! T-H-O-M-A-S!” seperti biasanya aku akan mengeja namaku jika Citra memanggilku Omas. Iya sih artis, tapi dia kan perempuan. Sementara aku? Aku perjaka ting-ting.

Citra memasukan kaset itu ke dalam Dvd, tangannya menekan tombol On. Satu per satu kompilasi lagu dalam album ‘No Sound Without Silent’ mulai terputar, memecah keheningan di antara kami.

//My head, my head is full of things I should’ve done
 My heart, my heart is heavy, here it sinks like astone
She said, is this the life you've been dreaming of
Spinning half through the way from the things you love
It's not too late, to do something new//
The Script – It’s Not Right For You.

Lagu itu hanya terputar sebentar, tapi aku dapat melihat perubahan yang drastis pada raut wajah miliknya, membuatku kehilangan fokus mengemudi. Kuberhentikan Alphard ini di pinggir jalan, tak memperdulikan makian pengendara lain yang kaget karena mobilku ngerem mendadak.

“Kamu kenapa, Cit?” kutatap matanya yang berembun. Sementara kedua tangannya gemetar memegang gelas vanilla latte miliknya. Citra seperti orang yang sangat tertekan.

“Aku anter kamu pulang aja, ya? kita nggak usah lembur!” ucapku, tulus. Aku tidak ingin memaksanya terus bekerja dengan kondisi yang tidak stabil.

Dia menggeleng, “gak pa-pa, aku nggak pa-pa. Kita tetep ke kantor, biar semuanya cepet selesai!” ucapnya sambil terus mempererat cengkramannya pada gelas vanilla latte itu.
***
Keesokan harinya, Citra sudah kembali seperti Citra yang biasanya. Tersenyum ramah menyapa seluruh rekan kerjanya, bersemangat menyelesaikan pekerjaan yang berhubungan dengan Akuntansi. Tidak memperdulikan cuaca ekstrim di luar sana. Kilatan cahaya dan suara Guntur menjadi soundtrack hujan sore ini.

“Cit!” aku menepuk bahunya, pelan. Memperhatikan Citra yang fokus pada layar komputernya.
Dia menoleh, tersenyum manis bahkan hampir membuatku terkena diabetes saking manisnya.
“Mau ngajak aku kemana sore ini?”

Aku tersenyum, dia tidak akan melaksanakan ritual hariannya jika hujan turun.

“Ke mana?” ulangnya.

“Ikut aja deh, pokoknya kamu pasti suka!” Dia mengangguk, menerima uluran tanganku.
Sebuah rumah minimalis dengan halaman yang cukup luas di daerah Dago adalah tujuanku. Rumah yang akan kami tinggali beberapa bulan lagi. Gerbang pertama mengarah menuju garasi, sementara gerbang kecil di samping garasi adalah jalan utama menuju rumah. Jalanan setapak dengan bunga mawar yang berjejer rapi sepanjang jalan. Bunga kesukaan Citra.

“Ini …?” Citra menatapku, meminta penjelasan.

Aku mengangguk, “Welcome to our home!”

Citra girang, dia memelukku erat. Kami menghabiskan sore itu dengan melihat-lihat seluruh ruangan di dalamnya.

Ping! Ping! Ping! Suara pesan masuk dari ponsel Citra membuatnya melepaskan genggaman tanganku. Matanya terfokus menatap layar. Entah siapa dan apa pesan yang tertera di ponselnya hingga membuat Citra mematung.

“Aku pulang duluan, ya?” Dia menatapku, memohon.

“Ada apa Cit?”

“Aku mau ketemu sama temen!”

Aku mengernyitkan kening, “aku anter, ya?” bujukku.

 “Nggak usah, Tom. Aku mau pergi sendiri!”

Aku menghela nafas, berat rasanya untuk membiarkan dia pergi, tanpa aku.

“Hati-hati di jalan, ya? kalau udah sampai rumah jangan lupa telepon aku!” Aku mengecup keningnya, lembut. Membiarkan sosok Kimberly Rider KW dua itu menghilang di balik pintu rumah kami, nantinya.
***
Kutatap diriku di cermin, termangu seperti lelaki tolol yang mencoba tetap tersenyum meskipun perasaanku tercabik-cabik. Aku telah membuat orang yang teramat sangat kusayangi begitu menderita. Hingga dia tak mampu membagi penderitaan itu denganku. Hatinya pasti lebih hancur dan terluka lebih dari yang kurasakan saat ini. Dan akan lebih hancur jika aku berpura-pura untuk terus menutup mata, telinga dan hati kecilku.

“Dia pantas bahagia!” Aku tersenyum, kubayangkan senyuman hangatnya yang mampu menggetarkan hatiku saat pertama kali melihatnya di kantor.

Bandung, Februari 2014 …

Dia muncul dengan senyuman sehangat mentari pagi, menjadi magnet berdaya tinggi hingga mampu menyedot seluruh makhluk hidup di sekitarnya, termasuk Miko … ikan koi yang kupelihara di kantor. Dia adalah manajer akuntansi yang baru. Dia mudah berbaur dengan seluruh karyawan hingga aku pun tertarik untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Hanya dalam dua minggu aku pun benar-benar jatuh hati padanya.

“Kamu mau jadi kekasihku?” Aku hadir di acara pesta ulang tahunnya yang ke dua puluh satu, membawakan buket mawar merah kesukaannya beserta kalung hati yang terbuat dari emas putih. Tepat di akhir bulan Februari.

Wajahnya bersemu merah, malu-malu melirik kepada kedua orangtuanya. Dia mengangguk pelan, tanda setuju. Aku merasa sangat bahagia dan sempurna saat itu.

Dan tepat di hari ulang tahunku yang ke dua puluh enam, bulan September aku melamarnya. Mengikatnya dengan sebuah cincin bertuliskan namaku. Hatiku  membuncah bahagia, melesat seperti roket ke angkasa. Kukatakan pada dunia bahwa dia milikku, penyempurna hidupku.
***
“Di mana Citra?”

Sonya, teman dekat Citra sejak masih SMA. Bekerja di kantor milik Ayahku ini, sebagai staff Akuntansi.

“Mmm … itu, …” Dia nampak gugup, sepertinya mereka menyembunyikan sesuatu. Itulah yang kutangkap dari sorot mata Sonya.

“Di mana Citra?” Kuulangi perkataanku dengan nada yang lebih tinggi, membuat beberapa pasang mata menatap kami.

Sonya menatapku ketakutan, tubuhnya gemetaran. “Di puncak gedung!”

Aku mempercepat langkahku menuju lantai dua puluh, ingin secepatnya menyelesaikan masalah ini. Kulihat dia duduk di bibir gedung, kedua kakinya menjuntai ke bawah. Sesekali tangan kanannya memainkan cincin pertunangan kami. Cincin yang mengukir namaku pada jari manis kirinya, dan namanya pada jari manisku.

“Cit …” aku menelan ludah, rasanya ada ribuan pil pahit yang harus kutelan bulat-bulat.
Dia menoleh ke belakang, nampak terkejut dan berlari menghampiriku.

“Ada, apa Omas? Ada kerjaan penting, ya?” Dia masih tersenyum, berusaha menyembunyikan apa yang seharusnya tidak perlu di sembunyikan dariku.

“Lepas cincin di jari kamu dan kamu aku pecat!”

Citra terbelalak, “maksud kamu apa? Aku salah apa?”
***
Diam-diam aku mengikutinya dari kejauhan. Sesuai dugaanku, dia memasuki Starbucks yang terletak di BIP. Kulihat dia menemui barista yang sama. Pria bertubuh tegap, berkaca mata ouvals, berambut ikal dan terlihat bekas goresan di pelipis kanannya. Aku melakukan sedikit penyamaran agar dapat mendengar percakapan mereka dari jarak dekat. Kebetulan saat itu hanya ada beberapa pengunjung hingga aku dapat memilih kursi mana pun.

“Aku mohon, jangan tinggalin aku, Dav!”

Pria itu tersenyum, pahit. “Kita nggak bisa terus seperti ini, Cit. Kamu sebentar lagi akan jadi milik orang lain!”

Wajah Citra memerah, menahan tangis.

“Aku mohon Dav, kita pasti bisa mewujudkan mimpi kita sama-sama! Aku yakin sebentar lagi, pasti berhasil,” Citra mengenggam kedua tangan pria itu kuat-kuat.

Kedua tanganku mengepal sempurna, ingin rasanya melayangkan sebuah tinju kepada Pria itu. Pria yang berani mengganggu tunanganku, calon istriku. Tapi sebisa mungkin kutahan emosiku, aku harus mengetahui apa yang mereka sembunyikan dariku.

Dia menggeleng, kedua tangannya melepaskan genggaman tangan Citra. Aku bisa bernafas lega.
“Nggak bisa, Cit! Aku harus pergi! Aku yakin, kamu bisa mewujudkan semua mimpi kamu bersama dia. Dia punya segalanya, kamu pasti bahagia sama dia.

Citra menggeleng, “nggak, Dav! Aku nggak bisa bahagia tanpa kamu! Aku janji, aku pasti akan berusaha membujuk Ayah lagi!”

“Maaf, Cit!” Pria itu pergi meninggalkannya.

Aku menelan ludah, mencoba mencerna kata demi kata yang terucap dari Citra. Citra berlari membabi-buta, tidak memperdulikan makian orang-orang yang ditabraknya saat keluar dari Starbucks. Aku mengigit bibir bawahku, aku harus mengikutinya. Dia berlari tanpa henti hingga tiba di jalan Riau. Dia berdiri di bawah lampu jalanan yang temaram. Memandang café bertuliskan “CiVid” di hadapannya. Cafe yang terlihat mulai usang dan dipenuhi sarang laba-laba.

***
“Maafin aku, Tom,” Citra hampir saja bersimpuh di kakiku jika kedua tangan ini terlambat meraih kedua tangannya.

“Bukan salah kamu. Aku yang salah, aku nggak sadar kalau kamu sedang bersandiwara,” aku tersenyum.

Citra menggeleng, butiran air mata terus meluncur di pipinya, “aku mohon jangan pecat aku, Tom, jangan batalkan pernikahan kita … aku mohon!”

Aku menggeleng, “Tempat kamu bukan di sini, Cit. Hati kamu bukan untuk aku. Kita akan sama-sama terluka jika melanjutkan pernikahan ini, terutama kamu! Aku nggak bisa!”

“Tapi …”

“Kamu nggak bahagia sama aku, Cit! Bukan aku yang kamu inginkan, bukan pekerjaan di sini yang kamu harapkan, It’s not right for you!” aku memaksanya untuk menatapku.

Citra memelukku erat, lebih erat dibandingkan pelukan kebahagiaan saat aku memperlihatkan rumah yang akan kami tinggali.

“Pergi, Cit! kejar apa yang seharusnya kamu kejar! Impian kamu! Kebahagiaan kamu!”
Citra menatapku nanar.

“Soal Ayah kamu, itu jadi urusanku. Pergilah!” aku menepuk bahunya, pelan.

//If we stay here too long then we'll, we'll never grown old
So before it's too late and it's killing you yeah
We've only one life to live
So love what you do//
***
Aku berdiri di depan café yang sama, ‘CiVid’ yang terlihat begitu ramai pengunjung. Seorang pria begitu lihat meracik kopi pesanan pelanggan. Sementara wanita di belakangnya sibuk membuat udang asam manis dengan senyuman yang mengembang, senyuman yang belum pernah kulihat sebelumnya. Itu Citra yang berhasil mendapatkan pekerjaan yang disukainya, memasak dan membuat kue. Membangun mimpinya bersama David, pria yang di cintai dan mencintainya sejak duduk dibangku SMA. Aku bahagia, meskipun akhirnya Citra kembali bersama David, kekasihnya. Kekasih pilihannya. Dia berhak bahagia dan mencintai apa yang dilakukannya. CiVid, Citra dan David … bukan Citra dan Thomas.
10 May 2015

Saat Terindah Bersamamu

Teruntuk kakak laki-lakiku, terima kasih.

Waktu begitu cepat berlalu, rasanya baru kemarin kita bermain dan tertawa bersama. Sekarang? Ah lihatlah kau sudah mempunyai teman hidup yang selalu setia mendukungmu menjadi pria yang sukses.


Kakak, tahukah kau bahwa aku selalu ingin mempunyai dua atau bahkan tiga orang kakak dan aku tidak ingin mempunyai seorang atau bahkan dua orang adik. Mengapa begitu? Karena aku egois, aku ingin menjadi si bungsu yang selalu di sayangi serta di lindungi.


Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa karena semua adalah kehendak Tuhan. Ya, kaulah kakak laki-lakiku satu-satunya. Oh tidak, kau bukan satu-satunya ... kau yang kedua namun kaulah yang akhirnya menyandang gelar si sulung itu. Kakak laki-laki kita yang pertama begitu di sayangi oleh Tuhan ... hingga kita belum sempat bertemu dengannya bahkan dalam mimpi sekalipun. Kita hanya tahu namanya serta rumah peristirahatan terakhirnya. Jadi kaulah satu-satunya kakak dan saudara kandung yang kumiliki di dunia ini.


Kakak, bukankah dulu kita tumbuh dan selalu bermain bersama? Bahkan nama kita pun diambil dari awalan huruf yang sama bukan? Hanya saja jenis kita berbeda, aku perempuan dan kau lelaki. Usia kita hanya terpaut tiga tahun dua bulan. Dan kita sama-sama cadel, selalu jadi bahan olokan karena belum bisa bilang huruf "R."

Kakak, ingatkah kau saat kita berebut mobil-mobilan truk yang dibuatkan oleh Bapak? Sampai-sampai memancingnya, kita diikat di bawah pohon cengkeh semalaman. Kini aku sadar, akulah yang salah waktu itu. Iya, aku yang salah. Kau adalah anak lelaki, tentu saja itu mainanmu ... bukan mainanku

Kakak, kita juga sering bermain bola bersama di depan rumah. Walaupun hanya menggunakan bola tenis.


Kita pun selalu bersaing untuk mengumpulkan kelereng paling banyak. Padahal aku tidak jago main kelereng. Aku selalu kalah dan kau yang menang. Kelerengmu satu toples, sementara aku harus kembali membeli yang baru di warung.


Kita selalu berebut untuk memainkan gimbot berwarna kuning yang tombolnya rusak akibat sering ku tusuk memakai lidi.




Kakak, aku tidak mengerti mengapa dulu aku lebih senang permainan anak lelaki. Yang aku tahu, aku hanya ingin selalu di dekatmu. Kakak, saat tiba saatnya kau di sunat ... hari itulah aku merasa sendirian. Kau mendapatkan semua perhatian dari Mama. Bahkan kau mendapatkan sebuah robot sebagai hadiah. Kita tidak bisa bermain bersama.


Kakak, aku ingat ... kau pernah mengajariku naik sepeda. Sepeda tua peninggalan Mama yang terlalu besar untuk kita pakai. Aku terkadang iri kepada teman-temanku yang dibelikan sepeda baru oleh orangtua mereka. Aku sering mengeluh tapi kau tidak. Karena sejak kecil kita tak pernah di manjakan oleh kedua orangtua kita. Kehidupan kita sangat sederhana bukan? Tapi kita selalu berbahagia. Kau bahkan jago bersepeda menggunakan sepeda Mama. Hari itu aku kembali belajar naik sepeda, aku hampir puluhan kali berkata padamu, "jangan lepas pegangannya!" tapi, tapi saat sebuah mobil mewah melintas dan kita berhenti dipinggir jalan ... Kau melupakan pesanku. Kau melepas pegangan tanganmu pada sepedanya. Aku terguling ke dalam kebun milik tetangga kita dan terjatuh di atas pohon berduri serta rumput liar. Kau menyadarinya bahwa aku terjatuh, kau hendak menyelamatkanku tapi terlambat. Kau bahkan turut serta terjatuh ke dalam kebun tak terawat itu. Kita pun pulang dalam keadaan babak belur.

Kakak, yang menertawanku karena tidak bisa naik sepeda. Ya, aku trauma setelah kejadian terjun bebas itu. Aku tak mau belajar sepeda lagi. Aku hanya akan bermain sepeda khusus anak balita. Ya, sepeda waktu kita masih balita.

Kakak, yang menemaniku bermain bulu tangkis dengan piring seng sebagai raketnya. Karena mama hanya memiliki satu raket.


Kau tahu, aku suka suara kok yang beradu dengan piring. 

Kakak, yang selalu memenangkan permainan monopoli dan ular tangga jika bermain denganku. Kau tahu, meskipun ada get rich, nyatanya aku lebih suka yang seperti ini.

Kakak, dulu kita senang mengoleksi tazos bergambar pokemon yang kita dapatkan dari dalam snack,

tak hanya itu ... kita juga memiliki koleksi dragon ball z, burung bangau, dan robot-robotan bongkar pasang. Tapi sekarang semua benda itu lenyap. Ya, Mama memberikannya pada anak-anak tetangga.

Kakak, dulu kita pernah memaksa kakek untuk membuatkan gasing tradisional berbahan kayu dengan paku sebagai ujungnya dan tambang pramuka untuk membuatnya berputar. Aku senang sekali memainkannya, meskipun gasing milikmu selalu saja berhasil membuat gasingku berhenti berputar. Kita juga senang bermain kartu bersama kakek, aku sering kalah dan mendapatkan coretak bedak di wajahku.

Kakak, aku sering mengikutimu saat bermain layang-layang. Bahkan sampai aku turut membeli layang-layang. 


Layang-layangku mudah penyok karena terbentur atap rumah dan robek karena tersangkut di pohon. Layang-layangku selalu gagal mengudara seperti layang-layangmu. Tapi aku tak pernah menyerah, karena kau dan kakek sangat telaten mengajariku. Hingga akhirnya aku bisa menerbangkan layang-layangku sendiri. Dan aku tidak pernah peduli kulitku menghitam akibat paparan sinar matahari, yang penting aku tetap bisa bermain denganmu.

Kakak, aku senang bermain dengan anak lelaki, tapi hanya kau saja. Karena terakhir kali kita bermain dengan sepupu kita itu ... Dia membuat penggorengan kecil yang dibelikan nenek untukku berlubang.

Kakak, kita sangat suka bermain kembang api? Iya itu dulu.




Kakak, kenapa kau begitu pandai mengurus tamagochi-mu yang bercangkang hijau itu? Sedangkan aku ... Tamagochi yang kupelihara dan bercangkang kuning itu selalu hampir mati bahkan sering kali mati hingga aku pernah menangis dibuatnya. Kakak, kita tumbuh di saat kartun tamiya tayang bukan? Kau meminta mobil-mobilan itu kepada Mama dan aku pun turut memintanya. Kau dapat dua, aku hanya satu. Kau bisa merangkainya, aku mampu merusak semuanya. Sekarang tamiyanya masih ada, tapi satu lagi entah ke mana, yang pasti punyaku yang berwarna putih. Sekarang kedua benda ini sudah tak berfungsi lagi.




Kakak, saat kau masuk SMP ... Aku mulai kehilangan dirimu. Kau jarang mempunyai waktu untuk bersamaku. Kau bahkan mengelabuiku dengan bertanya, "are you crazy?" dan kau bilang aku harus menjawab yes. Kau tertawa terbahak-bahak, kau curang. Aku belum belajar bahasa Inggris.


Kakak, nilai-nilai pelajaranmu selalu bagus. Kau selalu masuk dalam urutan tiga besar dan aku selalu ingin mengikuti jejakmu. Ya, aku ingin bersekolah di tempat kau bersekolah. Padahal saat aku masuk ke sekolah itu, kau sudah pasti meninggalkanku. Kau lulus, aku pun sama.


Kakak, aku dan Mama pernah menemukan dua buah surat cinta dari dua gadis yang berbeda. Itu saat kau masih SMP. Kau menyimpan surat itu di bawah lipatan baju dan kami menemukannya. Menggelikan, kau yang saat itu begitu menyukai rambutmu yang belah tengah ternyata mampu membuat dua gadis itu menyatakan cinta terlebih dahulu padamu.


Kakak, yang selalu berbagi tugas membersihkan rumah denganku. Kau tahu sekarang aku harus mandiri dan mengerjakan semuanya tanpa bantuanmu.


Kakak yang beranjak dewasa, kau tahu ... Aku mulai iri padamu. Ya, kau memiliki tubuh yang tinggi seperti Bapak, tubuh yang kurus, hidung mancung dan rambut yang lurus seperti Mama. Ah, kau bahkan sudah bisa bilang huruf "R." Kakak, tahukah kau, aku selalu saja di katai gendut ... padahal perutku tidak buncit dan masih ada yang bertubuh gemuk daripada aku. Tapi kenapa aku yang selalu di katai gendut? Aku tidak pernah tahu alasan mereka.



saat terindah bersamamu


Kakak, yang mengajariku bermain gitar namun tidak sampai tuntas. Tahukah kau gitar yang kubeli dengan uang tabungan saat SMP itu kini berdebu dan hanya tersisa empat senar. Aku tidak memakainya, tidak pula merawatnya.




Kakak, satu hal yang kutahu, kita sama-sama selalu tertindas oleh kawan sepermainan kita. Ya, mereka selalu menyuruhmu untuk menuliskan hasil ceramah subuh di buku mereka setiap bulan ramadhan. Kita tidak pernah bisa menolak permintaan mereka. Hingga akhirnya aku merasa kecewa, mengapa aku begitu lemah dan pemalu. Tapi sekarang, kau sudah membuktikannya. Kau bisa menjadi laki-laki yang kuat, hebat dan bertanggung jawab.

Kakak, saat kita bersama-sama berjualan pulsa elektrik, salah satu teman yang kupercayai menghianatiku. Dia bilang hanya minta sms, nyatanya dia minta sms untuk mengisi pulsanya ke nomor pengisian pulsa. Tapi sayangnya dia lupa menghapus laporan pengirimannya. Dia mengakuinya, tapi tetap tak mau membayar.

Kakak yang selalu menertawakanku saat aku curhat padamu.

Kakak yang lebih memilih bermain futsal daripada menemaniku di rumah. Tahukah kau aku begitu kesal malam itu. Kakek masuk rumah sakit lagi. Mama dan Bapak menginap di rumah sakit. Dan kau tahu itu, kau tahu aku sendirian di rumah. Kau malah pergi bermain futsal dan menginap di rumah temanmu. 


Kakak, yang ketampanannya mulai terlihat. Kau tahu, banyak teman-teman kelasku yang mengidolaknmu. Bahkan di antara mereka ada yang rela bertandang ke rumah hanya untuk melihatmu secara langsung. Beruntunglah aku karena kau sedang tidur siang hari itu dan mereka kecewa.


 
Kakak, yang selalu kumintai tolong mencetak foto-foto dari kamera ponselku. Maaf, karena banyak merepotkanmu.





Kenapa kita tidak mirip? Hahahaha

Kakak, yang lulus SMA dan langsung mendapatkan pekerjaan. Kau tahu, aku dan Mama begitu berat melepasmu pergi ... padahal hanya ke Jakarta. Aku semakin kehilanganmu ... Kakak, saat kau libur bekerja dan bertandang ke sekolah, kita pulang bersama-sama. Ya, saat itu teman-temanku mengira kau adalah pacarku. Lucu, bukan? Bahkan orang-orang yang kita lewati saat berbelanja pun selalu mengira kita berpacaran.

Kakak, saat itu aku merengek minta ikut untuk membeli kado bersamamu. Aku tahu kau sebenarnya keberatan, tapi aku tidak peduli ... sungguh tidak peduli. Kau tahu, aku iri karena kau membelikan sebuah boneka beruang untuk kekasihmu. Aku juga ingin. Kau bilang, kau akan membelikan boneka untukku tapi lain kali. Ya, kau lelaki dan kakak yang menepati janjinya. Aku mendapatkan boneka yang kuinginkan. 


Kakak, yang membelikan tiket dunia fantasi serta trans studio untukku dan Mama. Terima kasih banyak. Kau ingat saat kita mencoba semua wahana yang menguji adrenalin itu? Aku sangat bahagia sekali. 


Kakak, yang mengajariku mengendarai sepeda motor. Maaf, aku telah membuat luka di betismu. Kau memintaku menekan rem, bukan gas.  Aku benar-benar panik saat motornya hampir terjatuh. Maafkan aku.


Kakak, yang kurepotkan karena pingsan di pusat perbelanjaan. Maafkan aku, aku tidak mengerti kenapa aku bisa kehilangan kesadaran dan penglihatanku saat itu. Kau pasti bersusah payah mencariku yang tiba-tiba hilang dari dekatmu. Yang ku tahu, seorang satpam menggendongku ke tempat terbuka untuk menghirup udara segara. Aku merasa lega karena akhirnya kau menemukanku. 

Kakak, yang rela bangun pagi untuk mengantarkanku ke tempat kost agar tidak terlambat kuliah. Terima kasih karena kau rela berhadapan dengan kemacetan di Ujung Berung.


Kakak, yang selalu berhasil mendapatkan pekerjaan baru setelah kontraknya berakhir. Kau tahu, aku lagi-lagi iri padamu. Ya, aku begitu sulit mendapatkan pekerjaan yang cocok untukku. Tinggi badanku kadang menghalangi keinginan dan harapanku. Padahal kau turut membiayai kuliahku. 
Maafkan aku, aku selalu iri padamu dan belum bisa membuat kalian bangga.


Kakak, aku merasa begitu kehilanganmu. Ya, kau akhirnya bertunangan kemudian menikah dengannya. Terima kasih karena mewujudkan keinginanku. Aku memiliki sepasang kakak, lelaki dan perempuan. Tapi jarak di antara kita semakin jauh. Aku merasa diasingkan olehmu.



Kakak, yang memujiku karena ternyata aku bisa menulis sebuah cerita pendek. Terima kasih banyak, padahal kau belum pernah membaca tulisanku bukan? Ya, aku tidak bisa memaksamu untuk membaca tulisan-tulisanku. Aku tahu kau begitu sibuk dan kau tak suka membaca buku cerita.


Kakak, yang mengendarai sepeda motornya dari Karawang menuju Jakarta Timur. Terima kasih telah mengantarku ke tempat tes CPNS tahun 2014 lalu. Maaf karena hasilnya mengecewakan kalian. Aku gagal lagi.


Kakak, terima kasih telah menjadi seorang kakak yang baik untukku. Aku menyayangimu, sama seperti halnya aku menyayangi mama dan bapak. Semoga kehidupanmu selalu sukses dan berbahagia bersama kakak perempuanku. 



Terima kasih karena kau dan kakak perempuanku memberikan kejutan pada ulang tahunku yang ke dua puluh. Aku sayang kalian.