24 Jun 2015

Biarlah Tuhan Lebih Tahu Kok

Oleh : Ge Maulani


Cerpen ini tergabung dalam antologi It's Ok Wae dari event yang diselenggarakan oleh 2A Dream Publishing.



Udara malam itu terasa menusuk hingga ke pori-pori kulit terdalamnya. Hari ini dia lupa membawa jaket tebal kesayangannya. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menahan kantuknya sejak keluar dari tempatnya bekerja. Rasa takut akan kejahatan yang mengintainya tak lagi dia pedulikan. Kehidupan memaksanya untuk menjadi pribadi kuat dan tegar. Dia mempercepat langkahnya menuju ke tempat kost yang terletak di ujung gang sempit itu. Dia menekan handel pintu kamarnya secara perlahan agar tidak membangunkan ibu kost dan para penghuni lainnya.

“Ehm …” ibu kost sudah berdiri di belakangnya.

 Dia berbalik dengan senyuman kaku di bibirnya, persis seperti maling tertangkap basah.

 “Eh ibu, belum tidur, Bu?”

“Gimana saya bisa tidur kalau setiap hari tetangga pada komplain sama saya!”

“Emang saya salah apa ya, Bu?” Dia menggaruk lehernya yang tak gatal.

“Aduh Tika, kamu masih tanya salah kamu apa?” rahang ibu kost terlihat mengeras.

“Soal pekerjaan saya lagi, Bu? Ibu kan tahu sendiri saya bekerja di kedai kopi dan sering kebagian shift siang sampai closing pukul sebelas malam.”

“Bisa aja kan itu cuma alasan kamu. Asal kamu tahu saja ya, saya tidak akan menerima anak kost kalau kerjanya gak halal!”

Tika tersenyum gemas. Sudah berulangkali dia menceritakan tentang pekerjaannya. Namun, tetap saja dia di tuduh macam-macam oleh ibu kost dan orang-orang di sekitar tempat kost itu yang memang senang mengunjing orang.

 “Kalau ibu nggak percaya, ibu bisa ke tempat kerja saya, liat saya kerja sampai selesai?”

“Ih, emangnya saya kurang kerjaan apa harus ngikutin kamu! Udah ah saya ngantuk … mau tidur!”

Tika berdiri mematung di depan kamar kostnya. Memandang ke arah ibu kost yang kini menghilang di pintu rumahnya yang berhadapan dengan kamar-kamar kost yang di sewakannya. Angin berhembus semakin kencang menambah sakit di seluruh tulangnya. Tanpa berpikir panjang lagi dia bergegas masuk ke dalam kamarnya dan menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang mulai mengeras itu.

Ingin rasanya dia berteriak dan mengumumkan kepada semua orang jika dia adalah wanita baik-baik dan mencari uang dengan cara yang halal. Andai saja dia bisa, dia akan mencari pekerjaan baru yang jauh lebih baik atau bahkan dia akan menyeret semua orang yang berprasangka buruk padanya turut serta ke tempat kerjanya. Namun, Tika tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurusi masalah itu. Dia masih memiliki banyak urusan yang jauh lebih penting daripada mengurusi gosip yang beredar di sekitarnya.

***
Tika mengisi gelas air minumnya sampai penuh. Dia keluar dari dalam kamarnya untuk menikmati acara televisi di ruang keluarga khusus anak-anak kost di sana. Samar-samar dia mendengar beberapa penghuni kamar kost dan para tetangga ibu kost yang kembali menggunjingkannya. Membuatnya hidupnya kembali terusik dan jiwanya meradang. Namun, percuma saja dia membela diri jika mereka memang tak mempercayainya. Tika memilih untuk diam dan menikmati acara kartun kesukaannya.

“Tik, elo nggak ngerasa terganggu apa sama anak-anak kost lain dan para tetangga yang ngomongin lo?” Via, sahabatnya sejak Tika menginjakkan kaki di Jakarta.

“Gak usah elo tanya juga, gue udah bosen denger ocehan mereka Vi, kalau bisa gue sumpel deh tuh mulutnya satu-satu,” Tika berusaha tenang.

“Terus kenapa gak lo jelasin aja, Tik sama mereka”

“Jelasin apa? Gue udah jelasin berulang-ulang sama anak-anak sama ibu kost dan cuma elo yang percaya sama gue,” balas Tika sedikit putus asa.

“Terus elo mau biarin mereka nyebarin gosip yang nggak-nggak soal elo, gitu?”

“Udahlah Vi, aku sih is ok wae, biarin mereka mau ngomong apa sesuka hati mereka. Kali aja gue jadi trending topik di gang ini!”

“Karna kenyataan kerjaan gue itu halal dan gak ngerugiin siapapun. Gue nggak punya wkatu buat ngurusin mereka.” tambah Tika.

Via tersenyum “Hebat lo, Tik. Masih bisa tenang padahal lagi di gosipin tiap hari sama mereka."

“Baru tau lo, Vi? Gue udah dari dulu kali kebal sama yang namanya gosip. Tenang aja kali Tuhan tau kok soal kerjaan gue.”

“Kalau gue sih mana bisa masih kalem kayak lo gini!” balas Via.

Keduanya tersenyum. Tika memang tipe orang yang tidak mudah terbakar emosi. Dia selalu tenang dalam menghadapi semua kesulitannya. Kerasnya kehidupan membuat dia menjadi lebih dewasa dan tahan banting oleh perkataan-perkataan yang tidak mengenakan dari para tetangganya. Biarlah mereka berkata apapun tentang pekerjaannya, yang penting Tuhan tahu kalau apa yang di kerjakannya itu adalah pekerjaan halal. Gunjingan orang hanyalah segelintir masalah kecil dalam kehidupannya. Jika masalah kecil saja membuatnya emosi, apalagi masalah yang besar? Is ok wae-lah orang mau bilang apa.
1 Jun 2015

Akrab Bersama Si Kulit Bundar

Oleh : Ge Maulani

Cerpen ini tergabung dalam antologi My Story Of Football pada event yang diselenggarakan oleh AE Publishing pada tahun 2014 lalu.




Bentuknya bulat dan berisi. Dia bisa menggelinding ke sana kemari jika di tendang oleh kaki manusia. Dia juga bisa melambung tinggi di angkasa. Kemudian kembali ke bumi dan masuk ke dalam tiang gawang … yang berarti tambahan satu angka untuk lawan bermain. Lagi-lagi si kulit bundar ini mencuri perhatian kami sekeluarga. Membuat kami berkumpul di ruang keluarga hanya untuk menontonnya. Menonton kesebelasan andalan kami berlaga, Persib Bandung. Klub sepak bola lokal yang di juluki si Maung Bandung ini selalu kami nantikan penampilannya. Berharap dia akan menang saat melawan Arema Malang.

“Ayo Firman, terus serang!” teriak kakakku.

“Ayo Sib, Ayo … masa kalah sama Arema!” Bapak tak mau kalah.

“Atep menggiring bola, terus menuju kotak penalti dan …”

“Sayang sekali sodara-sodara, membentur tiang gawang dari Arema” lanjut komentator bola.

Kami semua memegang kepala dengan kedua tangan masing-masing tanda kecewa dengan serangan yang gagal di eksekusi oleh Atep. Kami harus puas dengan skor satu kosong di babak pertama, unggul satu poin untuk Persib. Sambil menunggu jeda iklan dan penampilan Persib di babak kedua, Ibu dengan sigap menyiapkan camilan tambahan untuk kami semua.

Kick off babak kedua pertandingan antara Persib melawan Arema Malang akan segera dimulai. Kami sudah bersiap kembali di depan televisi berukuran 21 inchi itu. Dengan semangat 45 kami menunggu wasit meniupkan peliutnya. Selang lima belas menit kemudian kami harus menelan kekecewaan dengan skor dua satu.

“Ah, payah … pasti deh suka kayak gini. Di awal udah menang. Di babak kedua malah sama!” Aku menggerutu.

“Yee … emangnya maen bola gampang apa!” balas kakak sembari melemparkan bantal kursi ke arahku.

“Ya tinggal tendang aja kali kak, susah amat! Kayak kita waktu kecil kan sering main bola berdua!” protesku, tak mau kalah.

“Itu kan cuma main-main aja dek, ini kan beda lagi. Ini pertandingan dan di lapangan yang luas banget! Perlu teknik dan strategi untuk menyerang lawan.”

Sejak dulu aku memang suka menonton sepak bola, sama seperti keluargaku yang lainnya. Dari mulai nonton Persib, Timnas U-19, MU, Chelsea, dan Piala Dunia. Saat itu aku mengidolakan Eka Ramdani, Zaenal Arif, Christiano Ronaldo, Irfan Bachdim, Kenji, Sergio, dan Evan Dimas. Bahagia rasanya saat melihat mereka menggiring si kulit bundar itu di tengah lapangan.

Kami kembali fokus pada pertandingan di layar kaca itu. Dengan mata berbinar, menantikan si Maung Bandung mencetak gol berikutnya. Tiba-tiba saja wasit mengeluarkan kartu kuning untuk salah satu pemain Persib. Kami saling menatap. 

“Salahnya di mana coba? Kok tiba-tiba kartu kuning!”

“Iya ih kok kartu kuning!” aku tak kalah herannya dengan kakakku.

“Itu kali gara-gara ngejatuhin lawan” sambung mama.

Akhirnya kami kembali menelan kekecewaan atas tendangan penalti yang berhasil menembus dinding pertahanan Persib dan penjaga gawangnya. Kedudukan menjadi dua sama hingga akhir pertandingan.

Namun, yang terbaik dari menonton si kulit bundar dan tim sepak bola kesayangan kami itu adalah kebersamaan kami. Jika ada pertandingan bola, semua anggota keluarga pasti berkumpul dan akrab di depan televisi. Berbeda dengan hari-hari biasanya yang sibuk dengan kesibukkan masing-masing. Pertandingan sepak bola membuat kami memahami satu sama lain. Obrolan kami dapat di mengerti oleh semua orang. Berbeda ketika aku menceritakan bahasa pemrograman, bapak menceritakan komponen elektronik, mama mengajar murid-muridnya dan kakak menceritakan pembuatan kendaraan roda empat di tempat kerjanya.