Satu Paket Kehilangan

By Gemaulani

satu paket kehilangan

Kehilangan Nenek belasan tahun lalu merupakan pukulan terberat bagiku, bahkan bagi kami sekeluarga. Awan mendung masih saja menghiasi selama berhari-hari. Namun ada kehilangan lain yang lebih menyedihkan. Bukan hanya sedih, ada rasa lain yang tercampur di dalamnya … sakit, kecewa, marah … setidaknya itulah yang kurasakan setiap kali melihat wajahnya. Sekalipun kehilangan ini telah berlalu belasan tahun lalu, aku tetap tak bisa melupakannya. Karena bagiku, melupakan lebih sulit daripada memaafkan. 

Aku, seseorang yang menerimanya hadir ke dalam kehidupanku dengan penuh suka cita … tak sedikitpun menaruh rasa curiga. Aku yang kemudian menyesal telah membiarkannya masuk dan merusak segalanya.


***
Siang itu sepulang sekolah, suasana hati yang berbunga-bunga mendadak layu. Mata yang berbinar berubah menjadi embun, tak lama kemudian hujan air mata pun terjadi … deras tanpa bisa dibendung lagi. Tubuhku mundur perlahan kemudian terduduk lemas di dekat meja makan.

“Kenapa, Gi?” Mama menghampiriku, memintaku untuk berhenti menangis.

“Binder yang lama nggak ada di lemari, hilang!” teriakku histeris.

“Lupa menyimpannya kali?”

Aku menggeleng, “nggak kok, Ma. Tadi pagi sebelum berangkat di simpan di lemari baju. Tadi Nggi tanya kakek, katanya Uli dateng pas Nggi udah di sekolah. Bilangnya mau ngambil barang yang ketinggalan kemarin. Jadi dibiarin masuk sama kakek!”

Beberapa hari kemarin gadis kelas tiga sekolah dasar itu memang sering berkunjung ke rumah. Bercanda dan tertawa riang sambil bertukar loose-leaf (isi binder) beraneka bentuk, corak dan warna. Untuk pertama kalinya aku membuka diri kepada saudara sepupu.

“Ayo kita ke rumahnya, Ma! Kita tanya dia langsung! Itu kan binder kesayangan Nggi!”

“Nggak enak dong Gi sama Bibi. Besok aja ya nanyanya di sekolah?” Mama berusaha membujuk dan akupun setuju.

***
“Biar Mama saja yang tanya, ya? Nggi tunggu di sini aja!”

Aku mengiyakan dan menunggu di depan kelasnya sampai Mama kembali menghampiriku dan memberikan penjelasan yang membuatku tidak puas. Kesalku semakin bertambah.

“Dia pasti bohong, Ma! Kalau bukan dia siapa lagi coba?”

“Udah lupakan saja ya. Kan masih ada binder yang baru?”

“Tapi di binder yang itu banyak biodata temen-temen. Ada foto-foto Nggi waktu kecil juga!”

Bel tanda pelajaran akan dimulai berbunyi, akupun terpaksa menuju kelasku sambil berkomat-kamit penuh amarah sepanjang perjalanan menuju kelas. Bahkan aku tak memperdulikan beberapa siswa laki-laki yang masih sibuk bermain kelereng di lapangan.  Padahal biasanya aku akan berteriak-teriak memanggil mereka untuk masuk kelas sebagai bentuk tanggung jawab seorang ketua kelas.

Waktu istirahat sudah tiba, namun aku tetap berdiam diri di tempat dudukku. 

“Teh, tadi Ayu dengar waktu Bu Neneng bisik-bisik sama Uli. Binder teteh hilang?”

Aku mengangguk.

“Ini, Ayu dikasih ini sama si Uli. Teman-teman lain juga dikasih!” Ayu menyerahkan empat lembar loose-leaf berupa biodata dan cover loose-leaf.

Mataku terbelalak. Semuanya isi dari dalam binderku. Sungguh keterlaluan sekali gadis itu. Dia membagikan lembaran loose-leaf dari dalam binderku. Bahkan menurut penuturan Ayu fotoku di klaim sebagai foto masa kecilnya.

***
Beberapa biodata kembali berkat Ayu dan beberapa temannya yang secara sukarela mengembalikannya padaku. Namun, Binder berwarna merah yang kujadikan diary itu tak pernah kembali. Foto masa kecilku pun turut lenyap bersamanya. Binder yang kubeli dengan menyisihkan uang jajan setiap harinya. Sedangkan dia … apa pun bisa didapatkannya dengan mudah. Merengek pada kedua orangtuanya yang serba berkecukupan.

Aku tak habis pikir, mengapa anak berusia 8 tahun bisa memerankan drama yang cukup menakjubkan. Kebohongannya nyaris sempurna jika saja dia tak membagi-bagikan lembar yang sudah terisi tulisan di dalamnya. Aku mengalami satu paket kehilangan sekaligus. Kehilangan binder pertamaku beserta kepercayaanku padanya.


Sejak saat itu, kelas enam sekolah dasar … aku tak lagi mengijinkan orang lain masuk ke dalam kamarku, terkecuali penghuni rumah. Karena aku tak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Dan kini setiap kali bertemu dengannya, gadis kecil yang bermetamorfosis menjadi gadis cantik nan gaul … rasa sakit, kecewa dan marah itu masih ada. Luka atas kehilangan belasan tahun lalu masih terasa. Aku memaafkan namun bukan berarti melupakan.

*ket : 633 kata termasuk judul

Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway Kehilangan

Leave a Comment