Besok Pake Nama Samaran Aja Ya?

Besok Pake Nama Samaran Aja Ya?

Kamu yang nggak sengaja terdampar di blog ini atau diam-diam baca tanpa meninggalkan jejak #geermodeon, pernah baca yang Ini namaku bagaimana dengan namamu belum? Kalau belum, gih baca dulu ke sana kalau mau itu juga #kugakmaksa. Jadi, aku mau bikin lanjutannya. Biar apa? Biar lega aja sih. Nggak numpuk di hati. Soalnya, senin kemarin, 16 oktober 2017, kumengalami hal yang agak kurang menyenangkan. Padahal ya, banyak lho perempuan yang dikasih nama pake nama yang mayoritasnya buat laki-laki, pun sebaliknya. Tapi masih aja ada yang merasa aneh, nggak percaya, dan suka ngasih label seenaknya. Seolah kalau pake nama x itu pasti buat laki-laki. Nama y buat perempuan. Cuma perumpamaan aku aja ya itu x dan y nya. Kadang kalau begini, suka ngerasa sedih, kzl, lucu dan bahagia. Kayak permen nona-nona eh nano-nano, ramai rasanya. Aku mau tjurhat dari mana dulu ya. Hmm, oke, pertama dari kalau belanja online atau dapet hadiah, suka bikin kurirnya pusing (kalau kurirnya baru). Tahu kan, kalau di pedesaan itu, rata-rata, tetangga itu tahunya nama panggilan, bukan nama asli. Kecuali tetangganya punya anak yang satu angkatan sekolahnya, atau tetangganya itu saudara. Kalau bukan? Rata-rata pada bingung. Terus nih, ribetnya kalau nama kita aku aja kali ada yang samaan. Kalau kurir yang kurang bertanggung jawab ya bisa aja langsung kasihin paketannya tanpa menghubungi nomor yang tertera. Nah, ditanya Gilang Maulani aja kebanyakan pada nggak tahu lho. Apalagi di depannya ditambahin pake “Bapak,” sama online shopnya. Semakin lah itu membingungkan. Kecuali dikirimnya lewat Pos sama JNE. Keduanya udah sering soalnya. Agak kzl sih ya, secara foto yang terpajang pas belanja itu udah jelas pake kerudung. Eh ya, mungkin miminnya nggak ada waktu buat lihat fotonya. Pokoke yang namanya Gilang itu pasti  laki-laki, mas-mas, bapak-bapak di mata yang bersangkutan. End. Kedua, ada kurir dari jasa pengiriman yang baru ngirim pertama kalinya. Kadang suka ada yang menelepon dulu untuk nanya patokan. Bagus, kusuka yang begini. Nanya dulu. Nanti kukasih tahu patokannya apa dan kuminta tanya aja rumah abah E atau ibu N. Tapi pernah lho begini dulu awalnya. Kurir x (yang nelpon perempuan. Mungkin customer service-nya : Kurir x : “Selamat pagi, dengan bapak Gilang Maulani?” Aku : “Maaf, saya bukan bapak-bapak!” Kurir x : “Oh maaf, dengan istrinya bapak Gilang, ya?” Aku terharu, diem dulu beberapa saat. Tarik napas, buang, tarik napas, buang. Tenang. Besok minta jodoh yang namanya Gilang juga aja biar jadi istrinya bapak Gilang nyahaha. Terus yang namanya Gilang berjenis laki-laki pada kabur setelah nggak sengaja baca ini. Aku : “Bukan mba. Saya Gilang dan saya perempuan.” Kurir x : “Oh, mohon maaf ibu.” Ketiga, dikira order ojek online pake akun orang lain pas di Bandung. Sampai kemarin tuh, di Jekardah, atit hati eneng teh a. Udah protes suruh di cancel pula. Jadi nih, pas di Bandung, ku buru-buru mau ke jalan x. Kupesan lah itu ojek online di depan BRI Syariah yang Jl. Otista, deket stasiun Bandung yang arah Pasar Baru.  Mas driver agak kebingungan pas lihat aku. Masnya : “Mba, order pake akun temennya, ya?” Aku (bingung, geleng kepala) : “Nggak mas, akun saya sendiri kok.” Masnya (senyum) : “Lho, mba namanya beneran Gilang? Saya pikir laki-laki lho mbak. Temennya mba gitu.” Aku (senyum juga, sambil ngenes dikit) : “Iya mas, nama saya Gilang sejak lahir.” *di Jekardah tanggal 16 Oktober sekitar jam 4 sore* Agak susah yha, order uber di Jekardah bagian Timur (JakTim). Udah jarang, sekalinya dapet, ada yang udah nerima kemudian cancel. Kzlnya udah nunggu 20 menitan pas di mapsnya udah mau deket, cancel. Sedih pisan. Mau instal aplikasi transportasi online lagi, kumalas daftar-daftarnya lagi. Padahal, kupesen uber biar apa. Biar cepet nyampe, dan males jalan ke halte Trans …

Read More

Proyek Berhadiah, Cerpen

 Proyek Berhadiah Lautan lepas, langit biru yang membentang luas, dan semilir angin seolah mengucapkan kata selamat datang padanya. Rasa penat yang menggerogoti seluruh tulang di tubuhnya telah hilang, tak berbekas. Tere menghempaskan tubuhnya di atas pasir putih nan lembut. Gadis berjilbab asal Bandung yang jika dilihat sekilas mirip artis Giselle Anatasya ini baru saja menyelesaikan tugas liputannya bersama Leni pada salah satu penerbit di Sumenep, Madura. Mereka menerima tawaran anak perempuan dari pemilik penerbitan itu untuk memanjakan diri sejenak dengan menikmati pemandangan laut yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari pusat kota Sumenep. “Indah banget pantainya,” Tere meremas sedikit pasir dengan tangannya, kemudian melepaskannya ke dalam air laut. Air laut yang jernih dan tenang serta pohon cemara udang yang berjejer mengelilingi pantai ini membuat Tere semakin terpesona. Pantai Lompang telah mengobati kerinduannya akan pemandangan lautan lepas. Pantai yang tak kalah indah dengan pantai Kuta di Bali, pantai yang terakhir dikunjunginya dua tahun lalu. “Coba aja di Bandung ada pantai, ya?” goda Leni, gadis berjilbab hitam dengan tingginya yang mencapai 170 sentimeter itu sudah dianggap seperti kakaknya sendiri oleh Tere.“Iya. Aku jadi nggak mau pulang ke Bandung, di sana nggak ada pantai!” ucapnya lirih.“Kalau kita nggak pulang, mbak Dian bisa marah besar, senin subuh kita harus udah nyampe Bandung!” Leni tersenyum, memandang Tere yang enggan meninggalkan semua keindahan alam di depan mereka. Senja telah menjelang, Tere harus merelakan keindahan pantai Lompang dan kesempatan untuk melihat matahari tenggelam di seberang lautan. Travel yang mereka pesan sudah tiba di rumah penerbit. Minggu malam, Dia harus segera kembali menuju kota Kembang, kota yang semakin mirip dengan Jakarta. Penuh kesibukkan dan kemacetan hampir di setiap sudutnya. “Coba kita bisa lebih lama ya di Madura,” Tere menghela nafas panjang, Travel yang mereka tumpangi sedang melaju di atas jembatan Suramadu.“Namanya juga bonus dari pekerjaan kita, Re! mana bisa lama-lama.” Leni menyikut tangannya, pelan. Menyadarkan Tere bahwa perjalanan ini bukan sebuah liburan. Perjalanan ini murni untuk urusan pekerjaan. Baca Juga : Benci Jadi Cinta, Cerpen Bagian 1 *** Secangkir kopi, sepotong kue tiramisu, dan beberapa permen mint diletakkan di samping komputer. Jemarinya masih sibuk menari di atas keyboard, menyusun barisan program untuk menyelesaikan sistem informasi yang di pesan oleh salah satu majalah terkenal asal Bandung. Hakim, lelaki berwajah tirus lengkap dengan tingginya yang mencapai seratus delapan puluh sentimeter ini resmi bergabung menjadi junior programmer di Kalong Corporation Bandung sejak tahun dua ribu tiga belas lalu. Pekerjaan ini menuntutnya untuk sering terjaga di malam hari. “Hakim?” Ivan, Direktur IT Konsultan dari Kalong Corporation memanggilnya cukup keras.Hakim menoleh, “Ada apa, Pak?” “Sudah sampai mana aplikasi yang kamu buat itu?” Dia mulai menggerakan mouse dan mencoba halaman-halaman yang dibuat oleh Hakim.“Delapan puluh sembilan persen Pak, bagian pemesanan dan kotak komentar yang langsung terhubung ke e-mail yang belum selesai!” Ivan mengangguk, dia memperhatikan Hakim yang sibuk menunjukkan halaman-halaman aplikasi yang belum selesai dibuat. Masih terlihat tulisan error di beberapa bagian. “Perlu waktu berapa lama untuk menyelesaikan semuanya?” Ivan menatapnya, tajam. Hakim melirik jam dinding yang posisinya tepat di belakang tubuh Ivan. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan semua ruangan sudah nampak gelap, kecuali ruangan software developer yang ditempatinya. “Atau kamu perlu bantuan seseorang?” Sejenak dia memejamkan mata, mencoba menambah kekuatan dan rasa percaya dirinya. “Saya perlu waktu dua jam, Pak. Saya pastikan semuanya selesai malam ini!” ucapnya mantap. “Ok, kalau ada apa-apa saya ada diruangan!” tunjuknya pada sebuah pintu yang terbuat dari kaca.“Baik, Pak!” Hakim memasang earphone dan mulai memutar beberapa lagu pop baik dalam maupun luar negeri untuk menemaninya agar tetap terjaga dan merasa rileks saat bekerja. Adit, pria brewokan, berkumis tipis dengan tinggi badan yang mencapai seratus delapan puluh sentimeter …

Read More

Hadiah Spesial Untuk Nenek – Chacha

Hadiah spesial untuk nenek ini merupakan lanjutan dari cerita panjang dan fiksi berjudul Chacha yang kutulis di masa SMK dan hingga saaat ini belum selesai. Bagian pertamanya   aku beri judul Kesedihan Awal Kebahagiaan . Semoga berkenan. Akhirnya chacha pun tiba di rumah neneknya.Di sana dia disambut dengan ramah, terlebih chacha adalah satu-satunya cucu perempuan di keluarga besar ibu Fitria yang tak lain adalah nenek chacha. Ibu Fitria tinggal sendiri di Bandung, suaminya telah tiada sejak 4 tahun yang lalu. Sedangkan kelima anaknya tinggal di 5 tempat yang berbeda,,selama ini Ibu Fitria hanya ditemani pembantu dan para pegawai perkebunan tehnya. “Chacha…!!!” ibu Fitria tercengang melihat cucunya yang sudah tumbuh besar. “Iya,eyang! Ini Chacha! Masa lupa sih sama Chacha?!” Balas Chacha sembari tersenyum dan memeluk neneknya itu. Tidak berapa lama kemudian tetesan air mata bahagia pun menetes membasahi pelupuk mata ibu Fitria. Suasana haru pun menyelimuti keluarga itu. Setelah melepas rindu bersama cucunya itu,ibu fitria pun menyuruh Mbo Ipah untuk mengantar chacha ke kamarnya untuk beristirahat.setelah chacha beranjak dari ruang tamu,ibu fitria pun melepas rindu bersama putri bungsunya dan menantunya. “Bu……!!! Maafkan Via,bu!via tidak pernah memberi kabar pada ibu selama 3 tahun… via juga tidak pernah menanyakan kabar ibu.. dan via….” Ibu Sylvia terisak sebelum meneruskan perkataannya. “Sudahlah,Vi!kamu tidak usah merasa bersalah… ibu sudah memaafkan semua kesalahan kamu,lagi pula selama ini ibu memantau keadaan kalian lewat pak Toto.ibu juga tahu kalau kalian baru bisa memperbaiki hubungan kalian dengan chacha kan?” Ibu Fitria menjelaskan kepada anaknya itu Pak Peter pun menyadari apa yang diinginkan istrinya,dia pun meminta izin untuk pergi jalan-jalan keluar dan melihat perkebunan teh. Ibu Fitria meneruskan percakapan bersama putrinya itu dan tanpa mereka sadari chacha mendengarkan percakapan mereka lewat celah pintu.sebenarnya chacha tak sengaja menguping,dia hanya ingin mengambil segelas air untuk minum.tapi dia mengurungkan niatnya ketika ibu dan neneknya itu terlihat sedang bicara serius. “Ma…,,bagaimana dengan mbak Vanie…?” Tanya ibu Sylvia “Entahlah,vi!dia tak pernah mengabari ibu lagi,,mungkin dia marah pada ibu karena ibu tak mau tinggal bersamanya di Surabaya.” “Tapi,Bu…. Seharusnya mbak vanie mengerti kalau ibu tidak mau meninggalkan perkebunan teh yang di bangun dengan susah payah oleh ayah!” “Pemikiran mu dengan vanie itu berbeda,,vanie lebih dewasa dari kamu,,tapi pemikiran kamu lebih dewasa dari vanie!sudahlah vi,,pasti suatu saat nanti dia akan sadar kenapa ibu tidak mau tinggal di Surabaya” “Tapi,,mungkin saja,mbak vanie merasa malu untuk datang kemari,bu!bagaimana kalau kita aja yang ke rumah mbak vanie,bu?” “Via…. Kamu ini kok bisa berpikiran seperti itu?tidak mungkin vanie seperti itu,,asalkan dia mau pasti dia akan datang kemari….!” Ibu fitria tertawa mendengar ucapan putri kesayangannya itu, sementara ibu sylvia cemberut dan mengerutkan keningnya , dia bingung kenapa wanita paruh baya yang tak lain mamanya itu malah menertawakannya. Sementara chacha yang mendengarkan pembicaraan mereka pun kaget ketika ada seseorang yang menarik gagang pintu dapur, chacha pun secepat mungkin berlari dan bersembunyi di belakang guci yang besar yang diletakkan di dekat pintu dapur itu. Ternyata yang muncul dari balik pintu dapur itu adalah ibu fitria yang hendak membawa mangkuk besar di lemari kaca yang diletakkan di ruang makan . ibu fitria pun kembali ke dapur dan chacha pun keluar dari balik guci dan pergi menuju ke arah kamarnya. Ternyata dia berpura-pura turun dari arah tangga dan beralari-lari kecil  menuju ke arah dapur. Dia pun tiba di dapur dan bercakap-cakap bersama ibu dan neneknya itu. “Cha,ada apa?bukannya kamu mau tidur?” tanya ibu sylvia “Emmm… ini,ma!chacha haus pengen minum!: balas chacha sembari berusaha tersenyum “Loh… kenapa engga panggil bi santi atau mbok ipah saja sayaang??” sergah ibu sylvia “ya ngga boleh dong bu..nanti kebiasaan buruk jadinya!” potong ibu sylvia “iya,nek! Di rumah kan chacha harus mandiri.. begitupun …

Read More